Abdurrahman Wahid selama era lengser: kumpulan kolom dan artikel By Abdurrahman Wahid, Indonesia. President (1999-2001 : Wahid), LKiS
----------
Artikel dalam editing
---------
Membaca Sejarah Lama (14)
Sebaliknya, tanah pekuburan Troloyo, yang hanya satu kilometer jauhnya,juga menyimpan kuburan Syaikh Abdul Qohar (Maling Cluring), Kiai Usman Ngudung, Tan Kim Han (menantu puteri Cempa) yang juga beragama Islam dan memiliki nama Arab Abdul Qodir Jaelani, dan masih banyak lagi pejuang-pejuang muslim lainnya. Mereka gugur di tempat itu ketika menahan serbuan orang Adipati Majapahit di Kediri, Kusuma Wardani, yang juga anak Brawijaya V.Adipati yang beragama Hindu-Budha ini, adalah orang yang tidak rela jika istana Majapahit dikuasai orang Islam, karenanya ia berusaha merebut tahta dari tangan Brawijaya V dengan kekerasan. Adipati inilah yag kemudian dikenal dengan nama Prabu Brawijaya VI, raja terakhir Majapahit. Sedangkan Brawijaya V meninggalkan istana dengan bertapa di Gunung Lawu, sekarang terkenal dengan nama Sunan Lawu.Data sejarah yang dikemukakan cerita tutur ini, kemudian diperkuat dengan data sejarah lain, yaitu prasasti yang ditemukan Dr Habib dari IKIP Malang. Menurut prasasti ini, pada tahun sangkala sirna ilang kertaningbumi (tahun 1400 Saka, menurut Empu Prapanca), telah diberikan gelar Romo Bayan AMpel oleh Brawijaya V atas meninggalnya seseorang dari desa Ampel di Surabaya. INi berarti gelar yang diberikan pada SUnan AMpel (salah seornag Wali Sembilan) oleh seorang muslim pula. Inilah yang mendukung spekulasi penulis, bahwa beliau masuk agama Islam. minimal pada akhir hayatnya.
Cerita tutur di atas, dengan dilengkapi dengan data prasasti tentang Romo Bayan AMpel itu, menunjuk dengan jelas pergulatan orang-orang beragama dalam istana Majapahit pada masa akhir kerajaan tersebut. Yang belum jelas bagi penulis, siapakah adik SUnan Ampel, yang dikatakan mejadi besan Brawijaya V. Pergulatan ini berlangsung sengit, diakhiri dengan peristiwa Troloyo dan disusul dengan penyerbuan Majapahit oleh pasukan rakyat para wali sembilan (wali songo) yang dipimpin oleh Sayyind Abdurrahman dari NGroto (dulu Demak dan sekarang Grobogan/Purwodadi), terkenal dengan sebutan Ki Ageng Ganjur (sejenis alat pemukul; di bawah gong dalam urutan perangkat gamelan wayang). Rupanya ganjur (genjur) ini digunakan panglima tersebut sebagai alat komunikasi dengan 350 ribu pasukan rakyatnya, karena waktu itu belum ada HT. Karena Ki Ageng Ganjur adalah pembangun jembatan bambu di daerahnya, dapatlah diduga ia diangkat menjadi panglima karena penguasaan tekniknya. Penyerbuan Kusuma Wardani atas Majapahit di Troloyo itu telah mengakibatkan hancurnya - untuk sementara waktu, kekuatan militer kaum muslimin. Tetapi, itu harus dibangung mahal oleh sejarah bangsa kita, karena pasukan para wali sembilan yang dipimpin Kia Ageng Ganjur itu lalu menghancurkan secara total keraton Majapahit, sebagai gantinya didirikanlah kesultanan Demak, dengan keturunan Majapahit, yaitu Raden Fattah yang menjadi Sultan pertamanya. Inilah hasil pergulatan militer yang penuh dengan kekerasan, seperti halnya yang pernah dilancarkan Kusuma Wardani.Perbedaan strategi dari masa Sunan Ampel yang dijalankan melalui jaland amai itu, akhirnya diteruskan dengan pergulatan menggunakan kkerasan di zaman Sunan Kalijaga. Bahwa Sunan Kalijaga- kalau perlu, bersedia menggunakan kekerasan, dan dapat dilihat dalam kasus Syaikh Siti Jenar. Syaikh kita ini telah mengajarkan wihdat al-wujud/wihdat asy-syuhud (manunggaling kawulo lan gusti) kepada orang awam, yang belum melaksanakan hukum-hukum syari'at, seperti shalat. Jadi, bkan berarti didasarkan atas penolakan Sunan Kalijaga terhadap aliran tasawuf tersebut, sebagai diduga Dr Alwi Shihab dalam disertasi doktornya di muka Universitas 'Ain Syam di Kairo.
Dari penuturan di atas, jelaslah membaca sejarah masa lamapu kita tidaklah mudah. Disamping data-data sejarah tertulis harus juga digunakan data-data yang diambilkan dari cerita-cerita tutur. INi berarti kemampuan menggunakan bahasa lokal, disamping kemampuan menggali cerita-cerita tutur yang ada. Itu pun belum menjamin autentisitas data-data tersebut, hingga spekulasi kesejarahan harus dilakukan.
Dengan demikian, faktor kredibiltas dan kejujuran sehari-hari sejarawan yang bersangkutan sangatlah menentukan. Sejarawan yang jujur dalam memberikan presentasi tertulis tentulah memiliki kredibilitas yang tinggi. Sedangkan sejarawan yang tidak demikian, sebaliknya, tidak melakukan spekulasi apa pun. Dalam hal ini, sejarawan yang secara resmi menjadi anggota partai politik, apalagi pengurusnya sebaiknya tidak melakukan spekulasi apapun, karena bagaimanapun juga, kredibilitas semua partai politik di negeri ini belumlah tinggi, dan bahkan sering tidak dipercaya orang.
Jelaslah, dari kasus Majapahit di atas, kerja membuat rekonstruksi sejarah memang bukan sesuatu yang mudah dilakukan,. ini terkait dengan kecakapan dalam menggunakan data-data secara tertulis maupun kemapuan menimbang cerita-cerita tutur. Di samping itu, ia memerlukan kesadaran etis yang tinggi dan kejujuran mutlak dari sang sejarawan. Sejarah jualah yang akan menentukan apakah kerja yang dilakukan mempunyai nilai atau tidak, dan bukannya kekuasaan.
Surabaya, 5 Februari 2002.
Membaca Sejarah Lama (15)
Penyerbuan para wali sembilan (wali songo) atas ibukota Majapahit, adalah kejadian yang sangat menarik untuk diketahui. Karena banyak pelajaran yang dapat ditarik dari peristiwa tersebut. Ia bermula dari serbuan Kusuma Wardani yang dipimpin Kadipaten Kediri, salah seorang putra Prabu Brawijaya V, atas prajurut muslim di Troloyo - sekitar satu kilometer dari Trowulan. Kusuma Wardani, menurut spekulasi penulis, marah atas proses Islamisasi keraton Majapahit. Karena kemarahan tersebut, ia memutuskan untuk menyerbu keraton itu dan berhasil mengusur Prabu Brawijaya V yang selanjutnya, melarikan diri ke Gunung Lawu - sebelah barat Magetan sekarang, dan di sana dikenal dengan sebutan Sunan Lawu.
Sehabis menyerbu keraton Majapahit, pasukan-pasukan Kusuma Wardani menyerbu pertahanan kaum muslimin di Troloyo, berguguranlah Syaikh Abdul Qohar (Maling Cluring), Syaikh Usman Ngudung, dan Tan Kim Han, salah seorang duta besar China yang beragama Islam dan menggunakan Arab Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Di tempat itulah dikuburkan orang-orang Hindu-Budha, setelah kerajaan Majapahit hancur total.
Pelajaran berharga dari seragan Kusuma Wardani itu adalah pentingnya arti kerukunan umat beragama antara Islam dan HIndu-Budha yang terganggu semenjak Syaikh Jamaludin Husein berpindah dari Bojonegoro ke Majapahit. Di tempat baru itu, ia membeli tanah-tanah yang dirampas dari tangan para penunggak hutang, seperti yang dilakukan BPPN kita sekarang, yang merampas perusahaan-perusahaan milik para konglomerat yang tidak mau mengembalikan kredit mereka ke berbagai Bank. Dan, Sayyid Jamaludin Husein mengembalikan tanah-tanah itu kepada para pemilik jika mereka memeluk agama Islam.
Gugurnya para pemimpin tentara Islam di Troloyo itu, diikuti oleh penguasaan Kusuma Wardani atas keraton Majapahit yang lebih mempertahankan agama Hindu-Budha, hingga mengakibatkan reaksi tajam. Para wali sembilan, yang sementara itu telah berhasil mendirikan kesultanan Demak, memutuskan untuk menggunakan kekerasan dan membentuk pasukan rakyat, yang berjumlah sekitar 35- ribu jiwa. Untuk memimpin pasukan itu, mereka menunjuk Sayyid ABdurrahman dari Ngroto, di sebelah timur Semarang (dahulu termasuk Kabupaten Demak, sekarang wilayah Grobogan-Purwodadi). Panglima ini, bergelar Ki Ageng Ganjur, alat musik pukulan di bawah gong daalm perangkat gamelan wayang, sebagai alat komunikasi komunikasi dengan pasukan-pasukannya.
Sayyid Abdurrahman Ngroto dipilih sebagai panglima karena ketrampilan teknologisnya, tepat seperti lulusan ATKAD, semisal Try Sutrisno. Dilakukan penggunaan alat musik pukul itu sebagai alat komunikasi dengan pasukannya, sebab saat itu belum ada HT dan sejenisnya. Juga, ia dipilih karena harus menyeberangkan kesemua prajurit rakyat sebesar itu dengan melintasi dua buah sungai, Bengawan Solo dan Brantas. Kisah penyeberangan itu sendiri, menurut cerita tutur, sangat menarik untuk didengar karena di dalamnya tersebur kegigihan anak manusia melawan rintangan alam yang dihadapi mereka.
Kisah penyeberangan menurut cerita tutur itu, membawakan pelajaran kedua bagi kejadian sejarah, yaitu bagaimana manusia harus mengatasi rintangan alam yang sangat berat melalui penerapan teknologi tepat guna dan pengorganisasian diri yang sepadan dengan kebutuhan. Alam harus ditundukkan dengan teknologi dan pengorganisasian, dan prisnip ini harus dipegang teguh oleh anak manusia di segalam zaman. Keberhasilan para wali sembilan dan panglima mereka itu - dalam menempuh cara tersebut untuk mewujudkan keinginan politik mereka, menunjukkan derajat kemasyarakatan yang ditinggi yang ada waktu itu.
Keputusan untuk membumihanguskan keraton Majapahit, setelah pasukan-pasukan Islam mengalahkan Prabu Brawijaya VI (posisi dan gelar yang digunakan Adipati Kediri setelah mengalahkan tentara Islam di Troloyo), merupakan pelajaran penting ketiga yang diambil dari rangkaian peristiwa di atas. Pelajaran itu adalah, jika kau kalahkan dan kuasai lawan, hancurkan keraton mereka. Ini adalah kerugian sangat besar bagi sejarah, sebab catatan-catatan sejarah menjadi musnah dan kita kehilangan data-data tertulis darinya.
Kesultanan Demak dengan melakukan hal itu, dan kita banyak kehilangan data-data sejarah yang tertulis, kehilangan yang harus dikompensasikan oleh cerita-cerita tutur yang terkadang sangat meragukan ke0autentikannya. Di samping itu, menurut Dr Sudjatmoko, letak geografis kerajaan-kerajaan Indonesia terdapat di daerah katulistiwa/tropis - juga ikut membyat kerusakan-kerusakan besar bagi begitu banyak peninggalan sejarah kita. Menurutnya, letak geografis kita, seperti juga halnya letak geografis budaya Afrika maupun budaya Inka dan Maya di Amerika Tengah, bersifat a-historis.Pelajaran penting lain yang dapat ditarik dari peristiwa itu adalah pentingnya arti toleransi antar-agama, bagi bangsa-bangsa atau suku-suku bangsa yang ada di kawasan ini. Pelajaran ini dapat dimengerti dengant epat oleh para pendiri Republik kita, dengan kearifan untuk menghapuskan Piagam Jakarta di pembukaan UUD 1945. Sebuah sikap yang tidak bertentangan dengan fiqh (hukum) Islam, karena kalau keputusan penghapusan itu diambil oleh para pemimpin Islam yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dari berbagai aliran, ternyata tidak ditentang oleh para pejuang yang tegar dari masa itu, seperti KH M. Hasyim Asy'ari Tebuireng, Jombang dan KH M. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang.
Jakarta, 7 Februari 2002
0 comments:
Post a Comment