Catatan Sepakbola
Sigit Nugroho
http://www.bolanews.com/edisi-cetak/nasional7.htm
Banjir, Banjir!
Jakarta dan beberapa wilayah lain di Indonesia pekan ini akrab dengan banjir. Curahan air tidak terkira. Sungai pun meluap, merendam berbagai kawasan strategis.
Banjir juga bisa mengancam sepakbola. Sebagai ilustrasi, sudah belasan jadwal penerbangan dari Jakarta ke daerah terpaksa dibatalkan akibat tol menuju bandara tergenang banjir. Di lapangan, kondisi juga rawan. Banyak stadion di Indonesia tak memiliki sistem drainase standar.
Dalam kiasan, banjir juga menggenangi wilayah sepakbola. Menjelang liga, banyak banjir teka-teki. Siapa jadi juara tak dapat diterka. Dalam liga yang bakal bergulir, kesiapan teknis maupun nonteknis klub-klub unggulan jadi terguncang akibat terapi kejut berupa letupan kasus dana APBD.
Dana Sponsor
Nah, yang terakhir ini tengah ramai dikupas. Bisakah klub lepas dari ketergantungan pada dana APBD? Para pengelola klub Galatama (sebelum dilebur dengan tim perserikatan dalam wadah Liga Indonesia di era Azwar Anas) tentu akan sepakat mengatakan: bisa!
Buktinya Galatama sempat berkibar sebelum mati lantaran kasus suap. Pemilik/pengelola kesal dananya diselewengkan. Tapi, apa betul Galatama hidup murni dari dana sponsor sehingga layak disebut liga profesional?
Satu hal yang pasti, mereka tak memakai dana rakyat lewat APBD. Namun, jika disebut dana dari sponsor, rasanya kurang pas. Soalnya dana itu rata-rata dikucurkan pemilik klub, yakni orang-orang yang gila bola. Pada iklim sepakbola yang juga kurang sehat, mereka pun sulit mencari sponsor.
Niac Mitra, yang dimiliki keluarga Wenas, konon hidup dari dana bisnis kasino ”Niac” di Surabaya. Bisnis itu lantas dianggap kurang pas di Tanah Air. ”Niac” pun ditanggalkan dan jadi Mitra Surabaya, lalu kini berganti baju menjadi Mitra Kukar (Kutai Kartanegara).
Arseto yang tenar itu? Klub ini didanai uang Sigit Harjoyudanto, salah satu putra Soeharto, presiden yang memimpin Indonesia selama 32 tahun! Arseto mengeruk dana dari sponsor? Tidak juga. Lantas dari mana? Tentu pembaca bisa menjawab sendiri.
Arema sangat membanggakan. Di tangan duet ayah-anak Acub-Lucky Zaenal, Tim Singo Edan cukup perkasa mengarungi liga dengan senantiasa berada dalam status selalu mengalami kesulitan dana.
Sebelum dibungkus Bentoel, Arema sempat menggaet sponsor kakap Rp 1 miliar dari Kanzen. Di Stadion Gajayana, Aremania pun menjawab dengan menyanyikan lagu Kanzen yang membuat bos produsen motor Cina itu merinding.
Wajar bila citranya naik. Tapi, ada sumber yang menyebut sponsorship itu semu. Soalnya Kanzen masuk berkat tangan politis seorang petinggi. Tapi, apa pun, Arema survive.
Titik Tengah
Dari dulu hingga kini, sepakbola Indonesia selalu diminati. Euforianya saja yang muncul dalam kemasan berbeda. Aroma kreatif, ekspresif, dan anarkis saat ini kentara membaur. Tak apa. Dalam kacamata positif, anggap saja itu sebagai bagian dari dinamika.
Masalahnya, apakah dengan kemasan yang ada sekarang 32 klub liga utama dipaksa harus bisa mandiri seperti ke-4 rekannya? Jika mau profesional, mestinya ya. Hanya, mungkin aturannya harus ditata ulang.
Bisa jadi era Galatama dan perserikatan kembali harus dipisah agar ada dana APBD atau apa pun namanya (dalam jumlah terbatas) untuk klub amatir/perserikatan.
Atau tetap digabung dan ke-32 klub itu jadi BUMD dengan target mandiri dengan dukungan penuh berupa regulasi dari BLI/PSSI dan perda atau peraturan pemerintah yang fleksibel?
Saya yakin selalu ada titik tengah atau solusi. Yang pasti, jika ingin sepakbola kita profesional, komunikasinya harus dua arah. Klub yang tengah didorong jadi partner menuju sepakbola Indonesia yang profesional mesti dirangsang dan diajak berpikir bersama.
Hanya berbekal pendekatan aturan yang keras bisa jadi kontraproduktif. Ibarat air panas langsung dimasukkan ke dalam kulkas. Bukan sejuk hasilnya, yang ada kulkas malah rusak. Perlu proses pendinginan. Toh celahnya ada dan sangat memungkinkan untuk bergerak menuju perbaikan.
Tentu saja akan sulit menyatukan visi jika pola pikir tidak sinergis. Pengusung teori big bang yang berharap perubahan terjadi secara drastis tentu punya persepsi berbeda dengan para pelaku dan institusi serta komunitas di dalamnya.
Sosok yang berseberangan ini umumnya menilai seleksi alam dalam sepakbola ”2008 tanpa APBD” sebagai pemberangusan massal. So, mari duduk bersama dan bicara. Kelak akan kita temukan banjir ide di tengah banjir masalah.
Ide BUMD Sempat Muncul
Dalam rangka menyemarakkan Kompas Gramedia Fair, yang diselenggarakan di Jogja Expo Center, BOLA menggelar sebuah perbincangan sepakbola bertemakan “Pendanaan Klub Sepakbola Mandiri”. Perbincangan pun mengarah pada banyak hal, terutama dalam mengatasi pendanaan klub pascapelarangan dana APBD.
Acara yang berlangsung pada Jumat (2/2) itu menghadirkan Ketua Umum PSS sekaligus Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto, Herman Dodi (Anggota DPDR Kota Yogya), Indra Tranggono (Budayawan), serta wakil manajer Persiba Bantul, Soedjono, dan dipandu oleh reporter BOLA, Ary Julianto. Sayang, manajer umum PSIM, Syauqi Suratno, tidak hadir lantaran terjebak banjir di Jakarta.
Ibnu tidak terlalu mengeluh dengan Keputusan Mendagri No. 13 2006. Ia menilai bahwa keputusan tersebut sudah tepat. Jika ingin disebut profesional, klub harus bisa mandiri. Sebagai solusi, ia berharap nantinya klub lebih tepat bila diposisikan sebagai BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang dituntut bisa menghasilkan keuntungan bagi daerah.
“Klub akan dibebani target sehingga akan ada aturan bisnis yang jelas. Klub harus punya daya tarik bagi sponsor. Karena itu, pencitraan perlu dibangun sebab klub kita masih belum punya branding yang bagus,” kata Ibnu.
Bagi Dodi, menuntut klub agar bisa profesional dalam waktu dekat merupakan hal yang sangat sulit. Soalnya kondisi perekonomian bangsa masih rumit, sementara kemampuan klub sendiri juga terbatas. Apalagi PSSI selaku induk sepakbola nasional juga belum mumpuni untuk mewujudkan sepakbola yang sehat.
“Saya lebih setuju apabila bantuan APBD tetap ada, namun nilainya disesuaikan dengan pendapatan daerah yang pengelolaannya wajib dilakukan secara transparan. Yang paling penting adalah menyembuhkan borok PSSI yang selama ini menjadi momok bobroknya sepakbola nasional,” jelas Dodi.
Kultur Sepakbola
Soedjono, yang mewakili suara Persiba Bantul di forum ini, menegaskan bahwa tanpa APBD sepakbola nasional akan mati. “Sebenarnya tidak ada yang rugi jika klub tetap dibiayai APBD. Toh selama ini klub juga bisa menjadi salah satu media promosi, terlebih kalau klub tersebut punya prestasi bagus,” kata Soedjono.
Dari sudut pandang lain, Indra Tranggono melihat bahwa sepakbola Indonesia lebih berkaitan dengan masalah politis dibanding sport, sportivitas, budaya, dan industri. Sepakbola Indonesia juga masih belum menjadi bagian dari kebudayaan yang harus dipahami sebagai ilmu, bukan sekadar hobi. “Ilmu mewajibkan kita untuk melakukan dua hal, yaitu belajar dan berlatih guna mengasah kecerdasan, intelektualitas, serta keterampilan teknis,” ucap budayawan Yogya ini.
Jalan keluar terbaik adalah klub harus bertindak profesional sehingga bisa menjadi perusahaan atau BUMD. Namun, sembari berjalan menuju ide itu, PSSI harus berbenah total dalam menjalankan fungsinya. Tidak seperti sekarang yang selalu berubah kebijakan dan seenaknya sendiri. Jika hal itu bisa dilakukan, kultur sepakbola dan era profesionalisme bakal masuk yang diikuti dengan pembinaan yang tak terputus. (Sahlul Fahmi/Ary Julianto)
0 comments:
Post a Comment