Popular Post

Sugeng Rawuh ---> Welcome ---> Ahlan wa Sahlan ---> Selamat Datang di Ngroto,Gubug,Grobogan
CahNgroto.NET
Showing posts with label Bolanews kolom. Show all posts
Showing posts with label Bolanews kolom. Show all posts

Friday, February 9, 2007

KOI, KON, KONI, atau Emas?


Catatan Ringan
Ian Situmorang
http://www.bolanews.com/edisi-cetak/caring.htm

KOI, KON, KONI, atau Emas?

Olahraga Indonesia berada pada persimpangan jalan. Kegagalan yang berlanjut dan berulang itu ingin dihentikan. Para tokoh pun bergerak lincah ingin cepat menemukan jalan keluar dari situasi yang terus memburuk.

Berbagai ide tercetus. Sayangnya gerakan itu bergolak bersamaan sehingga serasa menimbulkan kerumitan baru. Yang menonjol justru seputar kulit luar, bukan hal substansial.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar Indonesia setidaknya berada di tiga besar di Asia Tenggara. Harapan ini sangat wajar dan masuk akal. Namun, reaksi yang timbul belakangan ini menurut saya justru tidak fokus pada titik masalah.

Poin utama untuk meningkatkan prestasi seperti halnya masa-masa lalu dengan memberdayakan Pengurus Besar (PB) malah menciptakan wadah baru. Belakangan ini kita mengenal Satgas, yang menangani pelatnas dengan kekuasaan lebih besar.

Sadar atau tidak, wewenang besar di pundak Satgas akan menimbulkan antipati bagi PB. Jika tidak pandai-pandai membangun komunikasi dengan PB, akan timbul friksi pada perjalanan pembinaan di kemudian hari.

Masih dalam situasi meningkatkan kualitas atlet, kita pun sibuk dengan persoalan administratif. Belakangan ini menonjol pro dan kontra seputar KOI, KON yang merupakan perceraian dari KONI.
***
Apa kita butuh nama baru? Sesungguhnya bukan soal nama dan organisasi, yang mendesak adalah bagaimana membina, mendorong, dan menciptakan atlet Indonesia meningkatkan prestasi yang pada akhirnya meraih medali emas di arena internasional.

Apa boleh buat, kita sudah sering terjebak dan suka bermain kata-kata. Bukan lagi tujuan realistis yang diutamakan, tapi terganjal pada pemahaman sepihak yang belum tentu cocok diaplikasikan.

Betul, aturan main seperti tertuang dalam UU Keolahragaan No. 3/2005 pasal 36 mengatur tentang Komite Olahraga Nasional (KON). Yang memilih adalah anggota yang selama ini berlaku di KONI. Ada lagi Komite Olimpiade Indonesia (KOI), yang merupakan bentukan pemerintah.

Menurut saya, sama saja apa yang disebut KOI, KON, atau KONI. Tidak ada sesuatu yang baru di sana. Yang baru adalah kalangan tertentu yang memiliki agenda dan kepentingan khusus. Rasanya lebih berdaya guna bila dana dan energi yang tersedot ke sana dipakai untuk pelatnas.

Berani memulai sesuatu yang baru berarti berharap mendapat hasil lebih baik dari sebelumnya. Hanya saja, bila terlalu banyak melakukan tindakan yang kurang perhitungan, bisa-bisa justru menuai kegagalan.

Semoga saja olahraga Indonesia dapat keluar dari lilitan minim prestasi dewasa ini. Namun, di balik optimisme yang demikian besar, kita tak boleh menjadi besar kepala dan tak siap hal-hal buruk. Siapa tahu keputusan yang diambil hari ini tidak cocok diterapkan ke depan.

SEA Games akan berlangsung Desember depan di Vietnam. Indonesia sudah mengantisipasinya dengan melakukan pelatnas sejak awal tahun. Ini tindakan yang sangat bagus.

Harapan kita semua, prestasi ideal setiap atlet dapat tercapai tepat pada waktunya. Atlet tak perlu mencari tahu apalagi malah membuat bingung seputar peranan masing-masing lembaga terkait: Pengurus Besar, Satgas, KON, KOI, hingga kantor Menegpora.
***
Di pengujung Februari ini, tugas dan tanggung jawab Ketua Umum KONI Pusat, Agum Gumelar, berakhir. Tongkat komando harus segera diserahkan kepada tokoh baru.

Siapakah tokoh baru tersebut dan siap menghilangkah huruf I dari KONI menjadi KON? Mampukah ia mengemban amanah masyarakat olahraga Indonesia untuk menegakkan nama besar bangsa ini di tengah-tengah negara-negara Asia Tenggara hingga dunia?

Helmy Sungkar, yang lebih memilih jalan hidup sebagai promotor otomotif ketimbang menjadi saudagar mobil, secara terbuka mau bertarung. Cinta sekaligus penasaran karena prestasi atlet Indonesia kalah cepat dari negara lain menjadi pendorong utama.

Pak dosen dari Medan yang pernah menjadi Sekjen KONI Pusat dan kini Deputi Menegpora, Johar Arifin Husen, juga berniat. Banyak tahu tentang olahraga dan yakin mampu mengendalikan pencapaian prestasi sebagai modal masuk bursa ketua.

Luhut Panjaitan memang cukup memiliki pendukung pada pemilihan ketua periode lalu, namun kalah suara dari Agum. Membina karate dan berhasil meningkatkan prestasi menjadi pengalaman berarti untuk diterapkan dalam skala lebih besar sebagai ketua.

Dengan gaya low profile, tokoh lama yang memiliki international-link, Rita Subowo, akan ikutan meramaikan pertarungan. Lama berkecimpung di bola voli, kemudian menjadi pengurus bola voli internasional di samping sebagai pengurus teras KONI adalah aset terbesar baginya.

Ada lagi satu tokoh yang sempat masuk bursa dan mendapat perhatian besar, Sutiyoso. Karena berbagai pertimbangan, ternyata Gubernur Jakarta ini tak dapat memenuhi harapan pendukungnya untuk terus maju.

Anda punya penilaian siapa yang lebih berpeluang? Apakah Anda setuju kalau peluang para kandidat ini dibagi seperti ini: Rita Subowo (40%), Luhut Panjaitan (35%), Johar Arifin (15%), Helmy Sungkar (10%). Atau mungkin ada tokoh baru?

Biarlah pertarungan berjalan alot dan keras tapi harus dalam koridor sportivitas. Toh, ujungnya adalah meraih prestasi emas. Medali emas!
ian@bolanews.com
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Kompetisi LI 2007 Berisiko Tinggi




Kompetisi LI 2007 Berisiko Tinggi

Kompetisi LI 2007 sudah di depan mata. Tepat 10 Februari sejumlah pertandingan akan serempak digelar setelah sempat mengalami penundaan selama seminggu. Namun, bukan hanya masalah jadwal yang menjadi kendala. Masih banyak masalah lain yang bisa mengiringi pelaksanaan kompetisi yang kini memasuki musim ke-13.
Joko Driyono, Manajer Kompetisi BLI, menyebut kompetisi kali ini high risk competition. Apa saja yang menyebabkan demikian? Berikut pendapat Joko, yang disarikan dari wawancara dengan Ary Julianto dari BOLA.
***
“Kompetisi LI 2007 kali ini memang akan berjalan dengan padat, terutama karena ada agenda timnas yang berjalan di bulan Mei hingga Juli. Untuk agenda timnas, setelah gagal di Vietnam dan Piala AFF lalu, PSSI menetapkan jadwal pelatnas yang cukup lama untuk Piala Asia. Tentu pada saat itu kompetisi praktis tidak bisa berjalan karena pemain memasuki pelatnas.
Juga ada pula sejumlah penundaan di awal kompetisi karena isu dana APBD beberapa waktu lalu yang membuat PSSI terpaksa mengundurkan kompetisi satu minggu. Akhirnya kompetisi diundur ke tanggal 10 Februari dari rencana semula 3 Februari.
Dalam simulasi awal dengan pengunduran itu, jadwal pun ikut mundur satu minggu. Jadi jadwal satu minggu terakhir pada putaran pertama yang seharusnya selesai akhir April terpaksa mundur pula ke bulan Agustus yang seharusnya masuk ke putaran kedua. Namun, setelah kita pertimbangkan ini menjadi tidak ideal.
Oleh karena itu akhirnya kita putuskan untuk memampatkan jadwal putaran pertama ini sehingga selesai akhir April seperti rencana awal. Hal ini menyebabkan kompetisi 2007 putaran pertama kurang ideal dari sisi jadwal. Frekuensi pertandingan menjadi padat. Dalam tiga bulan, klub main 17 kali atau 0,65 minggu per pertandingan. Ini terjadi karena putaran pertama hanya berlangsung sebelas minggu. Ini pernah kita alami tahun 2003.
Ini sangat rentan. Pasalnya jika ada kasus pertandingan tertunda atau tidak terlaksana karena suatu hal atau kasus apa pun, memindahkannya akan sangat sulit. Kesempatan untuk menjadwal ulang di sela-sela kompetisi pada putaran pertama sangat sulit.
Putaran kedua relatif akan berjalan normal. Akan ada 17 pertandingan dalam 13 minggu atau sekitar 0,8 minggu per pertandingan. LI akan selesai pada bulan Desember dan liga musim depan akan berjalan lagi pada Maret 2008.
Nah, kalau ada pertandingan tertunda pada putaran pertama karena suatu dan lain hal, maka klub harus rela pertandingan itu dilimpahkan ke putaran kedua setelah bulan Agustus. Kecuali kalau diizinkan PSSI memutar di bulan Mei atau Juni, tetapi saya rasa ini juga sulit. Kalau sifatnya penundaan massal karena kasus tertentu seperti di Italia, saya tak berwenang menjawabnya.
Nah, seandainya ada penundaan atau kerusuhan tunggal dalam suatu pertandingan pada putaran pertama, maka penegakan hukumnya kita akan langsung memutuskan siapa menang atau siapa kalah. Apakah tuan rumah atau tim tamu yang dinyatakan kalah sebagai hasil lainnya. Menunda pertandingan besok paginya juga tak efektif karena secara teknis jadwal terlalu padat untuk ditunda sehari, kecuali pertandingan berikutnya klub tamu masih berada di satu pulau. Kalau lain pulau jelas sangat sulit karena jadwal padat tadi.
Dengan kondisi tidak ideal itu, secara teknis, kualitas kompetisi hanya dapat dijaga oleh kualitas manajemen klub yang excellent. Persik dan Arema memang mendapat pengecualian. Mereka mendapat interval tiga hari sebelum dan sesudah pertandingan mereka di Liga Champion Asia.
Kalau dilihat secara keseluruhan setiap, selain Persik dan Arema, punya kesempatan libur dua minggu. Tetapi kedua klub itu tak bisa. Nah, kesulitan ini hanya dapat diatasi oleh klub dengan manajemen yang excellent.
Soal Kitas dan ITC, banyak pemain asing yang tak selesai tepat waktu. Saya melihat banyak klub memang mengajukan syarat tersebut pada saat-saat akhir sehingga ada kendala. Padahal, dalam waktu normal, ITC dan Kitas itu bisa keluar dalam dua minggu. ITC bisa cepat karena ada bantuan dari federasi asal. Sementara itu Kitas ada sedikit kendala di imigrasi atau Depnaker.
Soal wasit, kita sudah meminta PSSI sebanyak 50 wasit dan 70 asisten wasit serta 50 pengawas pertandingan. Kualitas wasit itu beragam. Sekitar 50 % dari 50 wasit itu adalah wasit baru. Kita punya sistem penugasan 25 % wasit dengan status excellent, 50% good, dan 25% standar.
Untuk penugasan wasit tengah kita akan mencoba wasit terbaik pada pertandingan tertentu, bahkan wasit excellent ini akan berputar ke semua daerah. Mereka akan bertugas kira-kira 6 kali dalam sebulan. Lalu wasit kelas good akan bertugas 3-4 sebulan dan kelas standar hanya dua kali dalam sebulan.
Wasit kita punya kendala juga karena tak semua profesional. Banyak pula yang memiliki pekerjaan lain dan suatu saat kita tak bisa menugaskan mereka karena suatu dan lain hal.

Delapan Degradasi

Musim depan akan ada empat klub masing-masing wilayah atau delapan klub di divisi utama ini yang terdegradasi ke divisi utama. Inilah alasannya disebut high risk competition. Rasio degradasi kini menjadi 4/18, sementara di Liga Inggris saja cuma 3/20.
Posisi degradasi saja menyebabkan risiko tinggi. Belum lagi di setiap wilayah akan ada masing-masing sembilan klub yang mendapatkan tiket menuju Liga Super. Namun, itu bukan tiket otomatis lolos. Masih ada lima aspek yang harus mereka penuhi agar bisa lolos ke Liga Super.
Lima aspek itu adalah, pertama prestasi, kedua infrastruktur klub, ketiga masalah keuangan, keempat masalah sarana pendukung seperti pengembangan tim usia muda, dan kelima masalah manajemen yang sesuai dengan standar BLI, misalnya seputar lisensi pelatih asisten, pelatih fisik, fisioterapi, dan dokter.
Saat ini, kelima aspek itu kita godok masak. Rencananya pada bulan April nanti kami akan merilis secara detail lima syarat itu dan disosialisasikan ke klub agar bisa memenuhi kriteria masuk ke Liga Super.
Reduksi lima aspek itu saya kira tak ada. Dari tim task force tak ada kompromi. Kami ingin standarnya ditetapkan lalu tidak ada kompromi lagi. Persoalannya, kita sering melihat standarnya sudah ditetapkan tetapi lantaran tak ada klub yang mampu mencapainya lantas ada kebijakan yang mereduksi standar itu.
Lebih baik saya kira standar itu kita turunkan saat membuatnya. Misalnya dari nilai 10 menjadi 7, lalu dilaksanakan tetapi tidak ada kebijakan lagi. Ini secara aturan menjadi benar. Namun, standar yang turun tidak boleh terlalu tajam. Kita juga harus punya blue print. Pada 2012 standar ideal atau nilai 10 itu akan tercapai.
Saat ini kita juga tengah mendiskusikan apakah nanti akan mereduksi jumlah klub yang tak memenuhi syarat tadi. Misalnya jika ada klub yang sudah mendapat tiket lolos namun tak memenuhi kriteria liga super, maka akan kita drop dari posisinya dan kembali ke divisi utama. Ini akan dilakukan terus sampai minimal ada 12 klub. Jika kurang dari 12 klub, maka klub ranking 10 bisa saja masuk mengisi kekurangan itu jika memenuhi syarat. Lewat sistem kompetisi ini saya yakin akan muncul klub profesional.

Pendanaan Mandiri

Soal pendanaan klub saat ini, BLI memang tak mencampuri. Idealnya, pendanaan klub saat ini harus pindah dari APBD ke yang profesional. Misalnya 25-35 % dari tiket, 30-40% dari sponsor, 5-10% dari merchandise, 5-10% dari tranfser, dan sisanya kali tak bisa untung ditalangi dari pemilik klub. Namun, hal ini baru bisa berjalan 5-10 tahun nanti.
Saya melihat pemerintah tetap harus bertanggung jawab soal ini, terutama soal infrastruktur stadion dan pembuatan sentra-sentra pembinaan pemain. Kalau dana pemerintah nanti masuk ke klub, maka konteksnya tetap bisnis murni. Misalnya Dinas Pariwisata memasang a-board di lapangan. Saya kira sangat wajar. Jadi keuangan klub tetap bisa dipertanggungjawabkan.
Soal gaji pemain yang kini sangat tinggi, kami sebenarnya mau rem. Namun, klubnya selingkuh. Banyak tanda tangan di bawah meja dan lain sebagainya. Klub merasa anggaran mereka tak terbatas. Saya kira soal gaji pemain itu masalah pasar. Jika duitnya tak ada maka mau tak mau harga pemain juga turun. Kalau dibatasi saya kira malah menimbulkan masalah baru.
Dalam Liga Super kami juga mengarah ke audit klub. Namun, kami tidak hanya bicara soal keuangan saat ini, tetapi juga riwayat keuangan tiga atau dua tahun lalu. Ini harus terbuka agar investasi sponsor pun mendapatkan kepastian.”
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Wednesday, February 7, 2007

Tanpa APBD dan Pejabat Pemerintah Aktif

Catatan Sepakbola
Yudhi Febiana
http://www.bolanews.com/edisi-cetak/ujicoba2.htm

Tanpa APBD dan Pejabat Pemerintah Aktif

Dalam agenda FIFA, pertengahan pekan ini merupakan jadwal uji coba untuk tim nasional. Bagaimana agenda di sepakbola Indonesia? Pekan ini merupakan agenda persiapan klub-klub untuk berkompetisi di Liga Indonesia 2007.
Awalnya LI akan dibuka pada 3 Februari, tapi karena polemik soal penggunaan dana APBD, PSSI mengundurnya menjadi 10 Februari. Menyangkut dana APBD, hati nurani seluruh rakyat di negeri ini pasti sadar bahwa kucuran ratusan miliar rupiah uang rakyat untuk klub-klub tidak tepat.
Klub-klub pun sepantasnya melek dan sadar setelah ada peringatan dari Departemen Dalam Negeri tentang PP No. 58/2005 menyangkut Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa bantuan sosial, hibah, subsidi tidak boleh diberikan secara terus-menerus kepada satu pihak.
Artinya klub-klub sepakbola yang sudah bertahun-tahun disuapi dana APBD secara hukum tidak boleh lagi menguras uang rakyat. Namun, demi meredakan konflik, pada 30 Januari lalu, Departemen Dalam Negeri mengeluarkan dispensasi melalui surat Nomor 903/187/SJ bahwa klub-klub masih bisa menerima dana hibah dari APBD untuk musim kompetisi 2007.
Meski surat tersebut itu masih bisa menjadi perdebatan, yang pasti dispensasi hanya untuk 2007. Seterusnya, klub-klub dilarang memakai dana APBD, yang hampir tidak pernah dipertanggungjawabkan secara jelas. Jadi, untuk tahun 2008 dan seterusnya, klub-klub mau tidak mau, suka tidak suka, harus mandiri dan berusaha menjadi dewasa dengan mencari duit sendiri.
Tapi, klub-klub akan kesulitan jika tidak didukung dengan perangkat dan aturan kompetisi yang mengarah pada profesionalisme. Yang paling mendasar adalah asosiasi sepakbola dalam hal ini PSSI harus berdiri hanya sekadar regulator demi menjaga kelangsungan kompetisi dan tidak memonopoli pendapatan terutama dari sponsor.

Pos Pendapatan Klub

Ada empat pos utama pendapatan klub, yakni sponsor, tiket, hak siar televisi, dan merchandise. Jadi, kalau keempat pintu pendapatan itu tidak diarahkan kepada klub, bagaimana klub-klub tidak terus kerdil?

1. Sponsor

Ke dapan, PSSI jangan memonopoli sponsor untuk kompetisi liga. Klub-klub harus dibebaskan dalam mendapatkan sponsor, termasuk papan iklan di pinggir stadion. Itu adalah hak utama klub. Bagaimana klub mau kreatif mencari uang jika sponsor dikuasai PSSI? Klub tidak akan bisa mandiri jika dilarang atau dibatasi untuk memperoleh sponsor. Katanya sepakbola merupakan olahraga paling populer di negeri ini. Mestinya bal-balan lebih mudah dijual dan mendapat sponsor dibandingkan basket, bola voli, atau biliar sekalipun, bukan?

2. Tiket

Salah satu pos pendapatan terbesar klub adalah dari penjualan tiket pertandingan. Selama ini calo, bayar satu masuk dua, salam tempel, bahkan mungkin gratis, hingga subsidi tiket untuk suporter bukan cerita baru. Kebiasaan itu harus dihentikan. Klub jangan lagi berpikir stadion yang penting penuh, tapi bagaimana suporter mau datang dengan membayar.
Suporter harus diberi pemahaman dan dididik bahwa mereka pun harus ikut membantu budaya mandiri dengan membeli tiket. Jika pertandingan selalu berjalan fair, suporter dengan sendirinya akan datang dengan membayar tiket. Tapi, kalau liga masih lebih kental tidak fair-nya, siapa pun bakal ogah datang ke stadion. Jangankan membayar, menonton pun malas! Apalagi kalau ribut melulu hingga hasil pertandingan seperti sudah tercium dari jauh-jauh hari sebelumnya.

3. Hak Siar Televisi

PSSI memiliki hak untuk melakukan kesepakatan dengan pihak ketiga dalam hal penjualan hak siar. Tetapi, pendapatan dari hak siar semestinya lebih banyak dialokasikan untuk klub, bukan malah sebagian besar masuk kas asosiasi. Kini PSSI mendapat 10 miliar rupiah per tahun dari penjualan hak siar, tapi yang dikucurkan untuk klub hanya tiga miliar dari 150 pertandingan yang disiarkan dikali 20 juta rupiah per pertandingan. Sisanya 7 miliar?

4. Merchandise

Merchandise alias pernak-pernik klub menjadi salah satu ukuran sukses sebuah klub karena pendapatan dari pos ini bisa sangat besar. Kenapa klub-klub besar Eropa kini banyak yang ekspansi ke Asia? Mereka hanya mau menjual merchandise karena omset penjualan di Asia nilainya puluhan juta dolar!
Kuncinya, klub adalah penguasa tunggal merchandise. Plagiat pasti selalu ada, tetapi justru di sinilah peran klub untuk mendorong pemerintah dan aparat berwajib untuk menjaga hak intelektual mereka. Pemalsu merchandise resmi klub harus diproses secara hukum.

Klub Tanpa Pejabat

Untuk meraih dan mengelola keempat pos tersebut, klub harus dijalankan oleh manajemen yang profesional, diaudit oleh akuntan publik, serta bukan dipimpin pejabat pemerintah aktif karena selalu ada konflik kepentingan. Biarkan klub-klub berbadan hukum perusahaan agar arah dan pertanggungjawabannya jelas. Sekarang bagaimana ketua klub mau melaporkan pertanggungjawaban soal keuangan wong ketua klubnya juga kebanyakan kepala pemerintahan daerahnya masing-masing.
Pemerintah lebih baik membantu dalam hal pengadaan dan perbaikan infrastruktur olahraga, stadion, dan fasilitas-fasilitas lain. Ini yang baru didanai oleh APBD karena bisa dinikmati bukan hanya oleh klub-klub sepakbola. Pemerintah juga harus menjadi pengontrol hukum termasuk dalam penjualan tiket maupun merchandise hingga kontrak pemain karena itu justru akan menghasilkan pajak pendapatan untuk daerah.
Ya, pemerintah daerah semestinya memperoleh pendapatan dari klub-klub, bukan malah mendanai klub. Pendapatan tersebut termasuk dari sewa stadion, kecuali kalau stadion merupakan milik klub. Apakah sekarang klub-klub membayar sewa kepada pemerintah? Kalau stadionnya milik pemerintah, masak sewa wong duitnya juga dari APBD.
Pendapatan lain adalah dari pajak penjualan tiket, pajak penjualan merchandise, hingga pajak pendapatan dan kontrak pemain. Apakah pendapatan para pemain dan kontrak mereka juga dikenai pajak? Lho, uang untuk membayar mereka saja dari pajak yang diperoleh dari rakyat! Masak hasil pajak dikenai pajak? Kayak jeruk makan jeruk!
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Tuesday, February 6, 2007

Ide BUMD Sempat Muncul


Catatan Sepakbola
Sigit Nugroho

http://www.bolanews.com/edisi-cetak/nasional7.htm
Banjir, Banjir!

Jakarta dan beberapa wilayah lain di Indonesia pekan ini akrab dengan banjir. Curahan air tidak terkira. Sungai pun meluap, merendam berbagai kawasan strategis.
Banjir juga bisa mengancam sepakbola. Sebagai ilustrasi, sudah belasan jadwal penerbangan dari Jakarta ke daerah terpaksa dibatalkan akibat tol menuju bandara tergenang banjir. Di lapangan, kondisi juga rawan. Banyak stadion di Indonesia tak memiliki sistem drainase standar.
Dalam kiasan, banjir juga menggenangi wilayah sepakbola. Menjelang liga, banyak banjir teka-teki. Siapa jadi juara tak dapat diterka. Dalam liga yang bakal bergulir, kesiapan teknis maupun nonteknis klub-klub unggulan jadi terguncang akibat terapi kejut berupa letupan kasus dana APBD.

Dana Sponsor

Nah, yang terakhir ini tengah ramai dikupas. Bisakah klub lepas dari ketergantungan pada dana APBD? Para pengelola klub Galatama (sebelum dilebur dengan tim perserikatan dalam wadah Liga Indonesia di era Azwar Anas) tentu akan sepakat mengatakan: bisa!
Buktinya Galatama sempat berkibar sebelum mati lantaran kasus suap. Pemilik/pengelola kesal dananya diselewengkan. Tapi, apa betul Galatama hidup murni dari dana sponsor sehingga layak disebut liga profesional?
Satu hal yang pasti, mereka tak memakai dana rakyat lewat APBD. Namun, jika disebut dana dari sponsor, rasanya kurang pas. Soalnya dana itu rata-rata dikucurkan pemilik klub, yakni orang-orang yang gila bola. Pada iklim sepakbola yang juga kurang sehat, mereka pun sulit mencari sponsor.
Niac Mitra, yang dimiliki keluarga Wenas, konon hidup dari dana bisnis kasino ”Niac” di Surabaya. Bisnis itu lantas dianggap kurang pas di Tanah Air. ”Niac” pun ditanggalkan dan jadi Mitra Surabaya, lalu kini berganti baju menjadi Mitra Kukar (Kutai Kartanegara).
Arseto yang tenar itu? Klub ini didanai uang Sigit Harjoyudanto, salah satu putra Soeharto, presiden yang memimpin Indonesia selama 32 tahun! Arseto mengeruk dana dari sponsor? Tidak juga. Lantas dari mana? Tentu pembaca bisa menjawab sendiri.
Arema sangat membanggakan. Di tangan duet ayah-anak Acub-Lucky Zaenal, Tim Singo Edan cukup perkasa mengarungi liga dengan senantiasa berada dalam status selalu mengalami kesulitan dana.
Sebelum dibungkus Bentoel, Arema sempat menggaet sponsor kakap Rp 1 miliar dari Kanzen. Di Stadion Gajayana, Aremania pun menjawab dengan menyanyikan lagu Kanzen yang membuat bos produsen motor Cina itu merinding.
Wajar bila citranya naik. Tapi, ada sumber yang menyebut sponsorship itu semu. Soalnya Kanzen masuk berkat tangan politis seorang petinggi. Tapi, apa pun, Arema survive.

Titik Tengah

Dari dulu hingga kini, sepakbola Indonesia selalu diminati. Euforianya saja yang muncul dalam kemasan berbeda. Aroma kreatif, ekspresif, dan anarkis saat ini kentara membaur. Tak apa. Dalam kacamata positif, anggap saja itu sebagai bagian dari dinamika.
Masalahnya, apakah dengan kemasan yang ada sekarang 32 klub liga utama dipaksa harus bisa mandiri seperti ke-4 rekannya? Jika mau profesional, mestinya ya. Hanya, mungkin aturannya harus ditata ulang.
Bisa jadi era Galatama dan perserikatan kembali harus dipisah agar ada dana APBD atau apa pun namanya (dalam jumlah terbatas) untuk klub amatir/perserikatan.
Atau tetap digabung dan ke-32 klub itu jadi BUMD dengan target mandiri dengan dukungan penuh berupa regulasi dari BLI/PSSI dan perda atau peraturan pemerintah yang fleksibel?
Saya yakin selalu ada titik tengah atau solusi. Yang pasti, jika ingin sepakbola kita profesional, komunikasinya harus dua arah. Klub yang tengah didorong jadi partner menuju sepakbola Indonesia yang profesional mesti dirangsang dan diajak berpikir bersama.
Hanya berbekal pendekatan aturan yang keras bisa jadi kontraproduktif. Ibarat air panas langsung dimasukkan ke dalam kulkas. Bukan sejuk hasilnya, yang ada kulkas malah rusak. Perlu proses pendinginan. Toh celahnya ada dan sangat memungkinkan untuk bergerak menuju perbaikan.
Tentu saja akan sulit menyatukan visi jika pola pikir tidak sinergis. Pengusung teori big bang yang berharap perubahan terjadi secara drastis tentu punya persepsi berbeda dengan para pelaku dan institusi serta komunitas di dalamnya.
Sosok yang berseberangan ini umumnya menilai seleksi alam dalam sepakbola ”2008 tanpa APBD” sebagai pemberangusan massal. So, mari duduk bersama dan bicara. Kelak akan kita temukan banjir ide di tengah banjir masalah.

Ide BUMD Sempat Muncul

Dalam rangka menyemarakkan Kompas Gramedia Fair, yang diselenggarakan di Jogja Expo Center, BOLA menggelar sebuah perbincangan sepakbola bertemakan “Pendanaan Klub Sepakbola Mandiri”. Perbincangan pun mengarah pada banyak hal, terutama dalam mengatasi pendanaan klub pascapelarangan dana APBD.
Acara yang berlangsung pada Jumat (2/2) itu menghadirkan Ketua Umum PSS sekaligus Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto, Herman Dodi (Anggota DPDR Kota Yogya), Indra Tranggono (Budayawan), serta wakil manajer Persiba Bantul, Soedjono, dan dipandu oleh reporter BOLA, Ary Julianto. Sayang, manajer umum PSIM, Syauqi Suratno, tidak hadir lantaran terjebak banjir di Jakarta.
Ibnu tidak terlalu mengeluh dengan Keputusan Mendagri No. 13 2006. Ia menilai bahwa keputusan tersebut sudah tepat. Jika ingin disebut profesional, klub harus bisa mandiri. Sebagai solusi, ia berharap nantinya klub lebih tepat bila diposisikan sebagai BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang dituntut bisa menghasilkan keuntungan bagi daerah.
“Klub akan dibebani target sehingga akan ada aturan bisnis yang jelas. Klub harus punya daya tarik bagi sponsor. Karena itu, pencitraan perlu dibangun sebab klub kita masih belum punya branding yang bagus,” kata Ibnu.
Bagi Dodi, menuntut klub agar bisa profesional dalam waktu dekat merupakan hal yang sangat sulit. Soalnya kondisi perekonomian bangsa masih rumit, sementara kemampuan klub sendiri juga terbatas. Apalagi PSSI selaku induk sepakbola nasional juga belum mumpuni untuk mewujudkan sepakbola yang sehat.
“Saya lebih setuju apabila bantuan APBD tetap ada, namun nilainya disesuaikan dengan pendapatan daerah yang pengelolaannya wajib dilakukan secara transparan. Yang paling penting adalah menyembuhkan borok PSSI yang selama ini menjadi momok bobroknya sepakbola nasional,” jelas Dodi.

Kultur Sepakbola

Soedjono, yang mewakili suara Persiba Bantul di forum ini, menegaskan bahwa tanpa APBD sepakbola nasional akan mati. “Sebenarnya tidak ada yang rugi jika klub tetap dibiayai APBD. Toh selama ini klub juga bisa menjadi salah satu media promosi, terlebih kalau klub tersebut punya prestasi bagus,” kata Soedjono.
Dari sudut pandang lain, Indra Tranggono melihat bahwa sepakbola Indonesia lebih berkaitan dengan masalah politis dibanding sport, sportivitas, budaya, dan industri. Sepakbola Indonesia juga masih belum menjadi bagian dari kebudayaan yang harus dipahami sebagai ilmu, bukan sekadar hobi. “Ilmu mewajibkan kita untuk melakukan dua hal, yaitu belajar dan berlatih guna mengasah kecerdasan, intelektualitas, serta keterampilan teknis,” ucap budayawan Yogya ini.
Jalan keluar terbaik adalah klub harus bertindak profesional sehingga bisa menjadi perusahaan atau BUMD. Namun, sembari berjalan menuju ide itu, PSSI harus berbenah total dalam menjalankan fungsinya. Tidak seperti sekarang yang selalu berubah kebijakan dan seenaknya sendiri. Jika hal itu bisa dilakukan, kultur sepakbola dan era profesionalisme bakal masuk yang diikuti dengan pembinaan yang tak terputus. (Sahlul Fahmi/Ary Julianto)
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Kompetisi Semi-Pro yang Gagal

Era Galatama
Kompetisi Semi-Pro yang Gagal
Peringatan pemerintah agar klub LI tahun depan tak memakai lagi dana dari APBD membuat kaget. PSSI dan klub tergopoh-gopoh untuk segera mewujudkan kompetisi profesional tahun depan di Indonesia. Padahal, mereka bercita-cita lima tahun ke depan hal itu baru bisa terwujud. Menengok ke belakang, ide profesionalisme sebenarnya sudah ada sejak tahun 1970-an. PSSI bahkan mewujudkannya lewat kompetisi semiprofesional yang dikenal sebagai kompetisi Galatama. Segala persyaratan mulai dari kemandirian finansial, pendanaan, manajemen klub, infrastruktur pendukung, bahkan pemain asing sedemikian rupa diciptakan menuju atmosfer profesional. Jepang pun kabarnya pernah melakukan studi banding tentang kompetisi Galatama di akhir tahun 1980-an. Klub-klub juga didukung perusahaan yang besar pada saat itu. Misalnya Pardedetex dan kelompok usaha Pardede, Krama Yudha dengan kelompok Krama Yudha Tiga Berlian, Warna Agung dengan perusahaan cat Warna Agung. Mereka itulah yang menjadi sponsor bagi klub masing-masing. Terakhir di akhir 1980-an sejumlah BUMN masuk untuk mendanai klubnya seperti Semen Padang dan Pupuk Kaltim. “Dari segi pendanaan, era Galatama lebih baik karena tak mengandalkan uang rakyat karena mereka milik perusahaan-perusahaan bonafid yang memang mempunyai dana promosi yang besar,” jelas Halim Perdana, mantan pengurus Arseto Solo, juara Galatama tahun 1991. Klub kala itu juga diminta untuk menyetorkan sejumlah uang sebagai bank garansi. Manajemen klub juga diminta untuk menjadi badan hukum. Sejumlah pemain asing berkualitas seperti Jairo Matos (Pardedetex Medan) dan Fandy Ahmad (Niac Mitra) hadir di Indonesia. Dalam perjalanannya, kompetisi yang bergulir pertama kali pada 17 Maret 1979 ini diikuti oleh 14 klub dan bergulir hanya dengan satu divisi. Warna Agung, yang diperkuat sejumlah pemain nasional top pada saat itu, seperti Risdianto, tampil sebagai juara untuk kali pertama. Namun, sayang klub milik Benny Moeljono ini kemudian terseok-seok pada musim selanjutnya. Sebaliknya Niac Mitra kemudian memegang kendali, yang disusul kemudian oleh Yanita Utama dan Krama Yudha. Namun, di akhir hayat kompetisi ini, Pelita Jaya tampil sebagai klub paling superior. Galatama juga sempat dibuat menjadi dua divisi, utama dan satu. Gajah Mungkur Muria Utama pimpinan Sumaryoto dan Bentoel Putra sempat ikut di divisi satu. Namun, hal ini hanya berjalan semusim.
Awal Keruntuhan
Kompetisi yang pernah dijuluki sebagai universitas sepakbola di Indonesia itu kemudian perlahan menurun. Penyebabnya beragam. Sejumlah persyaratan yang ketat yang diberlakukan pada klub kala itu tak diikuti dengan ketegasan. Alhasil konsep klub pro pun sulit terwujud. Belum lagi Galatama sempat dilanda isu suap yang sangat parah di awal tahun 1980-an. Kekalahan besar klub-klub tertentu dari klub lain sebagai salah satu indikasinya. Saking parahnya, PSSI pernah membuat tim penanggulangan suap yang dipimpin Acub Zainal dan dibantu Andi Darussalam Tabusala untuk memberantas babi-babi suap itu. Faktor lain, pemain asing juga dilarang berlaga kembali saat Kardono tampil sebagai Ketua Umum PSSI tahun 1982. Akhirnya kompetisi yang berdesain pro itu mulai ditinggalkan penonton. Inilah awal kehancuran klub tersebut. Jumlah peserta yang semula 18 klub terus menciut. Pardedetex Medan adalah klub pertama yang mundur dari kompetisi ini tahun 1984. Selanjutnya Galatama benar-benar kehilangan pamor dibanding kompetisi Perserikatan yang mengutamakan persaingan dan fanatisme kedaerahan. Sponsor dan penonton tak datang, sementara masalah terus muncul. Meski dikelola lumayan profesional, tentu Galatama tak kuat untuk terus bertahan di tengah situasi tak menguntungkan. Akhirnya ide peleburan antara Galatama dan perserikatan muncul tahun 1994 dan bertahan hingga kini. (Ary Julianto/Gatot Susetyo/Aning Jati)
Kompetisi Galatama
1976-1980 Warna Agung (14 Klub)
1980-1982 Niac Mitra (18 klub)
1982-1983 Niac Mitra (18 klub)
1983-1984 Yanita Utama (15 klub)
1984 Yanita Utama (12 klub)
1985 Krama Yudha (8 klub)
1986 Krama Yudha (9 klub)
1987-1988 Niac Mitra (14 klub)
1988-1989 Pelita Jaya (18 klub)
1989-1990 Arseto (16 klub)
1991-1992 Arema (16 klub)
1992-1993 Pelita Jaya (12 klub)
1993-1994 Pelita Jaya (12 klub)
Galatama Lebih Irit
Bicara klub mandiri tentu tak lepas dari era Galatama. Kala itu terdapat klub-klub yang hidup dengan biaya sendiri. Nostalgia itu mungkin akan terulang musim depan ketika suntikan dana APBD untuk klub dihentikan. Mantan manajer Mitra Surabaya, Abdul Mu’is, menilai sangat rasional jika hal itu dilakukan. Pertimbangannya, jika klub merasakan kesulitan mencari dana, akan terjadi efisiensi pengeluaran. “Selama ini klub tidak ikut berpikir mencari dana sehingga ada kesan habis pun tak masalah,” ujarnya. Kondisi ini jelas berbeda ketika ia memegang Mitra Surabaya, reinkarnasi dari Niac Mitra. Ia harus memutar otak untuk menggali dana. Begitu pula saat mengeluarkan uang. “Semua saya perhitungkan dengan matang. Saya selalu berpikir bagaimana caranya bisa mendapat dana tambahan. Jadi kalau rugi tidak keterlaluan,” paparnya. Vigit Waluyo juga yakin sepakbola Indonesia tak akan mati tanpa kucuran dana APBD. Dia berbagi pengalaman kala menakhodai Gelora Dewata yang bermarkas di Bali selama sepuluh tahun. Saat itu kondisi finansial Gede murni dari kocek H.M. Mislan, ayah Vigit. Vigit menilai kondisi sekarang, terutama animo penonton, lebih baik dibanding dulu. Klub sekarang tak pusing cari penggemar karena mereka antusias datang ke stadion. “Itu nilai plus dan bisa menjadi modal utama. Gede dulu hampir 70 persen dana operasional dari penonton. Sisanya uang Mislan dan sponsor,” ungkap Vigit. Senada dengan Vigit, Hasnuryadi HAS Sulaiman, mantan manajer tim Barito Putera, optimistis sepakbola bisa bertahan. “Sistem kompetisi sekarang sudah bagus. Sistem pengelolaannya yang diubah. Para petinggi daerah bisa menggandeng pengusaha sebagai stakeholder klub,” jelasnya. Menurut Hasnur, terlemparnya eks klub-klub Galatama saat kompetisi digabung dengan perserikatan terjadi karena mereka kalah finansial. “Eks Galatama dari kantung sendiri, sedang perserikatan dari pemda. Dengan modal tipis, kami tak bisa beli pemain bagus. Imbasnya tentu prestasi tim merosot,” ungkap Hasnur. Baik Vigit dan Hasnur pun setuju jika dana APBD telah membuat klub jorjoran dalam menggaji pemain. Kini dengan hilangnya dana APBD hal itu tak akan terjadi lagi. Pasar pemain mahal akan sepi. Pemain pun terpaksa menurunkan harga jika musim depan ingin tetap bermain. (riz/tot)
Perserikatan Menang Fanatisme
Salah satu penyebab mundurnya kompetisi Galatama adalah rivalitasnya dengan kompetisi perserikatan. Galatama yang menjual profesionalisme nyatanya takluk di hadapan fanatisme kedaerahan. Gambaran itu terlihat jelas kala kompetisi Galatama hanya dihadiri segelintir penonton, sementara perserikatan pada final Persib vs PSMS di tahun 1985 justru membukukan rekor penonton yang hingga kini belum terpecahkan, 120 ribu penonton. Kini kedua kompetisi itu sudah disatukan sejak 1994. Pada awalnya klub-klub eks Galatama yang bermodal mandiri mulai goyah. Akhirnya BPD Jateng, Assyabaab Salim, dan Bandung Raya tak kuat dan memilih mundur. Dalam perjalanan selanjutnya, sejumlah klub eks perserikatan pun kini dihadapkan pada situasi sulit. Pelarangan pemerintah agar klub tahun depan tak menggunakan APBD sebagai dana operasional mereka membuat klub tersebut goyah. Untuk menyelamatkan kompetisi, muncul kembali sejumlah pilihan lama untuk memutar kompetisi perserikatan. “Kompetisi perserikatan itu jauh lebih bagus dibanding model LI seperti yang sekarang ini,” tegas Freddy Hutabarat. Pengurus PSMS yang dipercaya sebagai Ketua Bidang Kompetisi ini memberi contoh soal prestasi. Saat masih bergulirnya kompetisi perserikatan, prestasi Indonesia lebih bagus. Selain pernah menjuarai SEA Games 1987 dan 1992, pernah pula masuk empat besar Asian Games 1986. Keuntungan lain, dengan kembali ke perserikatan, keberadaan klub menjadi kembali diperhatikan. “Fanatisme juga akan kembali muncul. Yang lebih penting, biaya yang dikeluarkan pun tak sebesar sekarang ini,” jelasnya. Ide serupa juga diamini Vigit Waluyo. Mantan manajer Gelora Dewata itu mengusulkan agar sejumlah klub mengambil pilihan. “Mereka mau masuk Galatama atau perserikatan,” kata Vigit. Vigit menunjuk klub-klub besar seperti Persebaya, Persija, Persib, maupun PSM bisa bertahan karena mereka punya modal penonton yang melimpah. “Tinggal pengelolaannya saja,” katanya. Jika jumlah kontestan sedikit, sponsor pun tak perlu keluar biaya promosi besar. Jatah kue yang diterima klub dari sponsor pun lebih besar karena jumlah peserta kompetisi sedikit. Hanya sayang ide ini perlu waktu lama lantaran harus mengubah pedoman dasar PSSI saat ini. Belum lagi sejumlah klub eks peserikatan rasanya akan tetap memilih untuk menjadi perserikatan kembali dibanding menjadi klub yang mandiri. (wis/tot)
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Tuesday, January 23, 2007

Seperti Orang Pacaran



Catatan Sepakbola
http://www.bolanews.com/edisi-cetak/nasional5.htm

Sigit Nugroho


Seperti Orang Pacaran
Bersandar pada pernyataan Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI, Peter Withe telah menjadi masa lalu. Problemnya, hingga naskah ini diturunkan Minggu malam, masa depan tim nasional Indonesia belum jelas. Siapa nakhodanya? Yang pasti banyak yang alergi pada Peter. Sebutlah pemain yang lengket dengan bangku cadangan atau bahkan terpental di era Peter. Ada Budi Sudarsono atau Boaz-Ortizan Soloza. Dari kubu pengamat dan fan, sekalipun ada beda pendapat, tetap banyak yang pro pada pemecatan Peter. Ini belum termasuk dari kalangan jurnalis pascainsiden di Bandung. Mereka diperlakukan kasar oleh Jason Withe, putra Peter. Coach Peter sendiri di Singapura berkali-kali menuding pers terlalu menyorotnya negatif. Ofisial senior timnas Piala AFF menyebut gaya buang badan itu ciri khas Peter. Sepekan saya mencium semua pertentangan itu kala mengikuti Tim Merah Putih langsung di Singapura. Suasana yang kontras dibanding tim di Piala Tiger 2004 di Vietnam. Kala itu, saya dan Peter bahkan bekerja sama meringankan sanksi Ilham Jayakesuma lewat hasil jepretan kamera. Foto saya dan nota protes Peter mereduksi sanksi Ilham akibat kartu merah berupa larangan main di tiga laga jadi satu laga. Sikap Positif Kisah Peter dan sepakbola Indonesia ibarat orang pacaran. Saat cinta, pacar kerempeng dibilang langsing. Gigi berantakan dibilang gingsul, bikin tambah manis. Nah, saat bubaran, cerita berbalik 180 derajat. Tak tersisa kelebihan Peter. Bahwa dia pelatih brilian, bahkan merangkap manajer sekalipun, orang lupa. Ia motivator ulung. Peter pun menganut prinsip sepakbola positif: attack and attack. Serang dan serang! Itulah mengapa ia benci tim pencari hasil seri ala Singapura, atau Laos, yang pelatihnya mematahkan semangat pemain dengan bilang timnya kalah kelas, sehari sebelum main! Jika performa timnas seperti saat melawan Singapura (skor 2-2) atau kala merajalela di putaran final Piala Tiger 2004, rasanya banyak yang tetap respek pada Peter. Lantas, apa dosa-dosanya? Benarkah ia kurang memahami karakter pemain Indonesia, disiplin overdosis, keras kepala, dan emoh berdiskusi dengan ofisial? Entahlah. Yang pasti Ivan Kolev sempat kaget saat Budi Sudarsono tak masuk tim inti. Striker Persik itu dicap kurang punya ambisi meski jelas itu dibantah si pemain. Soal disiplin? Peter mengaku dulu kompromistis, kini ia tak mau didikte lagi. Malah, saat turnamen berlangsung di Vietnam tiga tahun lalu, akibat keluyuran malam Peter ingin membuang enam pemain inti sekaligus! Untung ia diredam ofisial. Ending-nya, bersama pemain ”nakal” itu Indonesia lolos ke semifinal.
Beda Perlakuan
Nah, plus-minus Peter kini terungkap. Ia bukan pelatih buruk, itu pasti. Hanya, ia tak berjodoh dengan Indonesia, itu juga mungkin sekali. Persoalannya, apakah kelak publik bola Indonesia juga akan bersikap sama pada Kolev atau siapa pun pengganti Peter? Soalnya menghujat adalah keunggulan kita. Ingat saat Peter kita puji setinggi langit sebagai pelatih berkarakter dengan reputasi berkali-kali membawa Thailand jadi kampiun di banyak event. Ingat pula bagaimana Kolev dulu kita depak lantas diganti Peter. Faktanya, di tangan pelatih asal Bulgaria itu timnas Myanmar jadi kekuatan baru di ASEAN. Mereka bahkan memukul tim senior polesan Peter di Merdeka Games akhir tahun lalu. Kontradiksi merupakan ciri khas sepakbola. Real Madrid dulu mentransfer David Beckham dari Manchester United karena dianggap sebagai salah satu gelandang terbaik dunia yang memiliki popularitas tinggi. Begitu berniat pergi ke LA Galaxy, Presiden Madrid, Ramon Calderon, menyindir Bekcs hanya sebagai bintang film yang ingin mengadu nasib di Hollywood. Di sepakbola memang tak ada yang pasti. Begitulah nasib Peter, Kolev, atau siapa pun pelatih timnas Indonesia kelak. Semua tak pasti.
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Monday, January 22, 2007

Ayo Bergerak, Mari Berlari


Usul Usil
Eko Widodo
Ayo Bergerak, Mari Berlari
Mak nyoss rasanya hati ini saat membaca berita olahraga koran-koran Minggu pagi. Setitik kepedulian diberikan pemerintahan SBY untuk olahraga di negeri ini. “Masalah pendidikan, kesehatan, dan kemiskinan memang penting. Tapi, olahraga tak boleh dilupakan. Bangsa bisa menjadi terhormat bila prestasi olahraganya maju,” ungkap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara penyerahan bonus atlet Asian Games di Wisma Serbaguna Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Jumat. Kebetulan saya baru saja selesai membaca jurnal ilmiah berjudul Political Ideology, Modernity, and Sports Policy: A Comparative Analysis of Sports Policy in Britain and Japan. Jurnal itu kiriman dari adik kelas saya saat di IPB, seorang profesor madya dengan titel Ph.D. dari Kanada yang sekarang tengah mendalami penelitian ilmu pangan di Jepang. Profesor Ian Henry dan Kazuo Uchiumi, si penulis jurnal, sepakat bahwa maju mundurnya olahraga di sebuah negara ditentukan oleh kebijakan pemerintah terhadap olahraga. Hal yang sama ditulis Dr. Mhd. Salleh Aman dalam buku Sukan dalam Masyarakat Malaysia. “Harus ada patokan dalam pengembangan olahraga sebuah negara. Di Malaysia, patokan itu adalah Dasar Sukan Negara 1988. Dasar Sukan Negara menitikberatkan pada dua sektor utama, yakni Sport for All dan Olahraga Prestasi,” ungkap Doktor Salleh dalam bukunya yang tengah saya alih bahasakan itu. Dari berbagai referensi yang saya baca, ternyata kebijakan olahraga di Jepang, India, Inggris, Hong Kong, Cina, Australia, Uni Eropa, dan Amerika senapas, yakni menggerakkan masyarakat agar giat berolahraga dan mendorong pencapaian prestasi di olahraga. Persis dengan keinginan Pak SBY, yang ingin mengangkat olahraga di Indonesia.
Indonesia bukannya tanpa patokan lho. Buku tentang Garuda Emas masih sering saya buka. Juga Undang-Undang No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Jadi, menunggu apa lagi? Masyarakat menunggu gerakan untuk kembali berolahraga. Jika masyarakat terus bergerak, berlari, dan bermain, secara sistematis akan berdampak signifikan terhadap olahraga nasional. Sebagai homo faber (makhluk yang bekerja), olahraga adalah solusi ampuh menjaga vitalitas masyarakat.
Nilai Jual
Meningkatnya aktivitas berolahraga masyarakat akan berdampak pada nilai jual olahraga. Masyarakat yang berbondong-bondong menonton adalah salah satu tolok ukur nilai jual olahraga, terutama bagi dunia usaha dan televisi. Usaha keras para promotor olahraga seperti Indika Productions di A Mild IBL menaikkan nilai jual liga perlu didukung oleh iklim keolahragaan yang kondusif. Saya bersyukur masih banyak orangtua di cabang basket yang mengajak anaknya ke lapangan untuk memainkan olahraga ini. Jangan heran jika penggemar basket, walaupun tak sebanyak sepakbola, terus terjaga kesetiaannya. Regenerasi, edukasi, dan kompetisi adalah jawaban mereka terus survive. Entah sadar atau tak sadar, orangtua yang gemar basket di atas telah menjalankan aktivitas sports for all di lingkungan terdekatnya. Ia juga menjalankan regenerasi atlet. Regenerasi terus diperlukan agar prestasi di level internasional terus terjaga. Selain di keluarga, regenerasi atlet juga bisa dilakukan di sekolah-sekolah lewat mata pelajaran pendidikan jasmani (penjas). Pak SBY, jika di bangku sekolah siswa mendapatkan jam materi pendidikan jasmani lebih banyak dari saat ini, itu juga bagian dari memajukan olahraga, lho. Sebaiknya pelajaran penjas dianggap sama levelnya dengan pelajaran ilmu pasti atau ilmu sosial lainnya. Sebab era saat ini adalah pengembangan multiple intelligent, tak hanya pada kecerdasan akademik, tapi juga pada kecerdasan sosial, emosional, etika, aktivitas gerak, dll. Satu-satunya yang punya power mengubah itu adalah presiden sebab mendiknas adalah pembantu presiden, bukan? Jadi, ayo bergerak, Pak SBY. Mari berlari mengejar prestasi! Mak nyoss rasanya jika itu semua tercapai. eko@bolanews.com
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Sunday, January 21, 2007

Finish, Mr. Withe!


Catatan Ringan Ian Situmorang
Finish, Mr. Withe!
Segala sesuatu harus berakhir untuk memulai lagi yang baru. Apa pun bentuknya, hal-hal baru selalu membawa harapan berbeda ketimbang yang berlaku sebelumnya. Kesabaran memang sangat dibutuhkan, tapi jika terlalu lama menunggu bisa diartikan tidak kreatif. Orang yang ogah menerima perubahan justru akan terlindas oleh sikap statis itu sendiri. Pelatih tim sepakbola nasional kita, Peter Withe, mengungkapkan perasaannya. Sehari menjelang pertandingan menentukan Indonesia vs Singapura di Piala AFF, ia menuding pers Indonesia selalu berpikir negatif. Tentu itu dari sudut padang Withe, yang dikontrak sebagai pelatih timnas sejak Maret 2004. Kehadirnya diyakini akan membawa sepakbola Indonesia menjadi yang terbaik di lingkup Asia Tenggara. Mungkin saja Withe lupa bahwa peran pers adalah alat kontrol sosial yang merupakan corong opini publik. Mana mungkin pers menuntut macam-macam jika tugasnya untuk mengantarkan timnas berprestasi di tingkat internasional berjalan dengan baik. Pembaca, mungkin pria asal Inggris ini tak sadar bahwa kontrak kerjanya bukan asal teken tanpa hak dan kewajiban. Haknya berupa materi sesuai dengan kontrak secara teratur masuk ke rekening pribadinya. Menurut saya, sangatlah tidak bijaksana menuding wartawan negative thinking, sementara kewajiban Peter hanya berbuah hasil negatif. Jika mau jujur, silakan tunjukkan raihan prestasi yang telah dibukukan dalam kurun waktu hampir tiga tahun ini. Apa yang telah diberikan Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid, dalam bentuk materi maupun kesempatan, rasanya sudah lebih dari cukup. Berbagai kegagalan berkali-kali ditoleransi. Begitu juga tuntutan biaya yang tidak sedikit untuk persiapan tim.

***
Puncak dari kegalauan selama penantian terjadi di Singapura. Pada Piala AFF kita tersingkir secara menyakitkan. Target juara hanyalah impian hampa yang selama ini ditiupkan. Sudahlah, teori apa yang bisa membenarkan bahwa Peter Withe masih pantas dipertahankan melatih timnas Indonesia? Tanpa Peter, Indonesia melaju ke final Piala AFF yang dulu bernama Piala Tiger 2000, 2002. Kemudian di tangan bekas pelatih timnas Thailand ini Ponaryo Astaman cs. ke final 2004, tapi gagal jadi juara karena dikalahkan Singapura. Seiring perjalanan waktu, pengetahuan dan pemahaman kultur Indonesia ternyata tak jua memberi hasil memuaskan. Jangankan memeluk mahkota juara, lolos ke semifinal saja tak mampu. Do you still have a reason for this failure, Mr. Withe? Apakah kemerosotan prestasi sepakbola kita merupakan bagian dari identitas bangsa ini? Boleh jadi Peter tak pernah mau belajar dari pengalaman sehingga tak kuasa memberi sentuhan positif bagi kemajuan sepakbola kita. Keluhannya tentang kritik orang bola di Indonesia yang dianggap tak mendukung hanyalah alasan basi. Pelatih berkualitas tidak mungkin runtuh hanya karena dikritik. Seharusnya ia menjawabnya dengan bekerja keras dan memberi hasil terbaik lewat pemain berkualitas pilihannya sendiri. Finish! Tak ada lagi tempat bagi Peter Withe dan asistennya yang putranya sendiri, Jason, di timnas. Terima kasih atas usahanya membangun persepakbolaan Indonesia selama hampir tiga tahun. Tapi, untuk memberi kesempatan berkarya lagi, no way! Betul, satu kegagalan bukan berarti menghancurkan semua harapan. Namun, satu kegagalan yang diikuti mata rantai kegagalan berikutnya akan berdampak buruk yang lebih kelam lagi. Sebelum itu terjadi, sebaiknya ambil langkah bijaksana dengan menyebut: Goodbye, Peter Withe.

***
Dalam setiap kegagalan terselip hikmah. Nah, terserah kepada petinggi PSSI untuk menemukan hikmah itu dan menjadikannya sesuatu yang berguna. Sebab, kita tahu bahwa Piala AFF hanyalah sasaran antara, sedangkan target besar adalah Piala Asia. Grup D Piala Asia berlangsung di Indonesia, yang melibatkan Korsel, Arab Saudi, dan Bahrain. Bahkan perebutan tempat ketiga diadakan di Palembang dan final di Stadion Gelora Bung Karno, 29 Juli. Kerangka timnas sudah ada, tak perlu lagi keluar dari kondisi saat ini. Yang mungkin dapat dilakukan adalah peningkatan intensitas latihan dan uji coba sekaligus memadukan kerja sama secara tim. Apakah tidak mungkin merombak sebuah kerangka? Segala sesuatu bisa terjadi. Hanya saja urusan teknis sebaiknya diserahkan kepada pelatih sebagai penanggung jawab terdepan. Bukan berarti PSSI tinggal diam, setidaknya dalam masa persiapan, termasuk agenda try-out. Menurut pengalaman, beberapa langkah yang diambil pelatih tidak sesuai dengan target. Mau mengikuti kejuaraan di wilayah Asia, tapi malah berlatih dan bertanding di Eropa yang memiliki budaya dan karakter permainan sangat berbeda. Jika sampai pada pemilihan pelatih, apakah lokal atau asing, perlu ada rembukan dan kata bulat dari petinggi PSSI. Lebih baik mencari pelatih internasional yang dibayar mahal untuk short term ketimbang pelatih medioker untuk long term tapi tak memuaskan. Tindakan apa yang akan ditempuh, semua kembali pada cetak biru PSSI menuju Piala Asia. Jika targetnya timnas jangka panjang, sebaiknya Piala Asia ditempatkan sebagai sasaran antara dengan mempersiapkan pemain muda berkualitas. Pilih mana, hayo?
ian@bolanews.com
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Penggantian Pelatih Harus Dikaji Lagi


Rahmad Darmawan
.....................
Penggantian Pelatih Harus Dikaji Lagi

Timnas Indonesia memetik hasil terburuk pada Piala AFF karena gagal melaju ke semifinal. Pada tiga Piala Tiger terakhir, tim Merah-Putih selalu lolos ke semifinal. Sebelum turun ke Piala AFF 2007 ini, pelatih Peter Withe ditargetkan membawa timnas cukup ke final saja. Kenyataannya lolos ke penyisihan grup pun tak mampu.
Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid, mengisyaratkan Withe akan diganti. Sebetulnya apa yang menyebabkan kegagalan ini? Apakah keputusan mengganti pelatih di saat timnas akan bertanding di Piala Asia Juni 2007 tepat? Berikut pandangan Rahmad Darmawan, pelatih Sriwijaya FC yang pernah menjadi asisten pelatih timnas kala ditangani Ivan Kolev pada periode 2000-2003, seperti dituturkan pada Erwin Fitriansyah.
****
“Saya terkejut dengan hasil polesan Peter Withe saat pertama kali menangani timnas di Piala tiger 2004. Terkejut dalam artian positif.
Penampilan timnas saat itu cukup bagus dengan pelatih baru. Dengan pola 3-4-3 yang diterapkan, timnas tampil luar biasa. Terus terang saya menaruh harapan yang besar setelah melihat penampilan cemerlang timnas, setidaknya di babak penyisihan.
Namun, seiring berjalannya waktu, justru penampilan timnas makin menurun. Mungkin di Indonesia Withe menghadapi masalah yang tidak dihadapi saat dia menangani timnas negara lain.
Kita juga tak tahu apa yang dihadapi Withe. Namun, ada beberapa kemungkinan masalah. Kualitas timnas berhubungan dengan kualitas kompetisi. Hal itu juga berhubungan dengan kualitas teknis dan mental pemain.
Dilihat dari kualitas pemain, bisa dibilang 80% anggota timnas sekarang adalah pemain terbaik di Indonesia. Kalau ada nama yang tak masuk, itu hak Withe. Siapa yang dipanggil tentu tergantung pada kebutuhan tim.
Secara teknis, saya melihat pemain kurang bisa menjabarkan dengan baik pola yang diinginkan Withe di lapangan. Pemain kita perlu penjabaran lebih sederhana dalam menerapkan pola.
Dua tahun lalu, formasi 3-5-2 dimodifikasi jadi 3-4-3. Sedikit saja perubahannya, tapi hasilnya cukup memuaskan. Soal pola ini, Withe juga sudah mencoba untuk memperkenalkan pola 4-4-2. Sebetulnya pemain punya cukup waktu untuk mengenal pola ini dengan baik.
Pelatih harus cepat untuk memberikan instruksi pada pemain, sebaliknya pemain juga idealnya cepat untuk bisa menerapkan instruksi di lapangan. Mungkin komunikasi tak berjalan dengan sempurna karena setahu saya sampai saat ini Withe belum bisa berbahasa Indonesia dengan lancar.
Semasa persiapan, Withe mencoba dan menyeleksi banyak pemain. Itu hal yang wajar dilakukan. Apalagi kalau tujuannya untuk mempersiapkan tim turun di Piala Asia 2007.

Evaluasi di Lapangan

Sekarang coba kita evaluasi di lapangan. Di partai pertama lawan Laos, pemain kita terlalu banyak membuang kesempatan. Mereka sering tergesa-gesa dalam menyelesaikan peluang.
Di partai kedua, ada perbaikan dalam segi permainan, tapi kebugaran pemain kelihatan menurun. Soal rotasi, saya melihat itu bagian dari strategi Withe. Ia mungkin berpikir untuk mengistirahatkan pemain yang staminanya dinilai menurun. Kalau yang terjadi malah penampilan tim tak bagus, itu risiko dan menjadi bagian dari pertandingan.
Di pertandingan lawan Singapura, kita bisa tampil bagus. Motivasi pemain luar biasa sehingga stamina mereka kelihatan tak terlalu menurun.
Padahal kalau dilihat dari jadwal dan lawan, pada pertandingan ketiga ini sebetulnya fisik pemain paling rendah dibanding dua pertandingan sebelumnya. Yang patut dipertanyakan kenapa mereka bisa bermain dengan motivasi tinggi justru di pertandingan ketiga? Kenapa hal itu kurang terlihat di partai sebelumnya?
Sekarang dengan kegagalan ini posisi Withe akan diganti. Menurut saya, keputusan ini perlu dikaji lebih jauh lagi. Kita harus konsolidasi ke dalam lebih dulu.
Efek positif kalau pelatih diganti tentu penyegaran. Setidaknya pemain yang belum terpanggil ke timnas punya harapan baru namanya akan dilirik pelatih baru.
Efek negatifnya kita tak punya banyak waktu untuk bersiap ke Piala Asia 2007. Saya pikir pemain sebetulnya juga masih berharap ditangani oleh Withe.
Pelatih baru tentu harus melakukan inventarisasi masalah yang dihadapi timnas sebelumnya. Ia juga harus menginventarisasi pemain.
Apalagi kalau pelatih yang ditunjuk nanti pelatih asing. Ia harus melewati proses adaptasi. Sulit untuk beradaptasi dengan waktu yang sempit.
Apa pun keputusan nanti atau siapa pun yang ditunjuk nanti, kita akan menghadapi lawan yang sangat berat di Piala Asia. Dengan pembagian grup yang sudah dilakukan, peluang kita untuk lolos penyisihan sangat berat. Sebaiknya kita jangan terlalu banyak berharap untuk lolos. Mencuri poin, satu atau dua adalah hasil yang realistis mengingat lawan kita amat tangguh. Yang jelas kegagalan ini membuktikan kita masih harus banyak berbenah sebelum bermain di Piala Asia.”
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Tuesday, January 16, 2007

Kenapa Penyelenggaraan Piala AFF Lesu Promosi?

Dibanding gelaran Piala Tiger, yang telah berlangsung dalam lima edisi, pementasan Piala AFF 2007 dinilai sedikit lesu. Apakah akibat ketiadaan sponsor utama turnamen ini jadi menurun mutunya? Berikut pandangan Franciscus Kalbuadi, Ketua Delegasi AFF, dan Herman Ago, Direktur Promosi PSSI, yang disampaikan kepada Sigit Nugroho di Hotel Amara, Singapura, Minggu malam, dan Ario Yosia di Jakarta.
Franciscus Kalbuadi ...............................................
“Seusai gelaran Piala Tiger 2004, AFF sempat menggelar meeting untuk membahas kelangsungan turnamen dua tahunan ini. Soalnya Tiger Beer selaku sponsor utama telah menyatakan akan menarik diri setelah lima musim bekerja sama dengan AFF. Semua lantas memutuskan jika tidak ada lagi perusahaan yang mau menggantikan posisi Tiger Beer selaku sponsor kejuaraan, sebaiknya diangkat saja nama ASEAN. Semua sepakat dan akhirnya jadilah sekarang Piala AFF. Tentu saja ajang ini bukan berarti sama sekali tak laku dijual. Buktinya kami masih memiliki sponsor World Sport Group, yang mengkoordinasi berbagai perusahaan yang ingin memakai Piala AFF sebagai lahan promosi. Soal nilainya saya tidak berhak bicara. Besar kemungkinan di bawah biaya yang pernah dikeluarkan Tiger Beer. Tapi, menurut saya, tanpa sponsor utama pun pertandingan berjalan dengan baik, di Bangkok maupun Singapura. Ada yang menyebut tanpa sponsor utama ada impact negatif. Misalnya kualitas turnamen jadi agak menurun. Saya rasa tidak demikian. Justru sebaliknya, dari sisi kualitas mutu turnamen ini terangkat dibanding dulu. Jumlah hari pelaksanaan turnamen yang dibikin lebih padat demi mengikuti pembatasan jumlah peserta justru merangsang kualitas pertandingan. Ingat, jika dulu semua peserta bisa masuk tanpa kualifikasi, kini ada prakualifikasi yang dilaksanakan di Stadion Panaad, Bacolod City, Filipina, selama sepekan lebih. Dari sana muncullah Laos dan Filipina, yang berhasil menyingkirkan Timor Leste, Kamboja, dan Brunei Darussalam. Hasilnya kini skor lebih ketat. Dulu Indonesia bisa menang 10-2 atas Kamboja, kini tidak ada atau belum ada lagi. Laos pun hanya kalah 1-3 dari Bambang Pamungkas dkk. Jika turnamen ini dikelola dengan baik, tentu sponsor akan kembali melirik. Tiger Beer merasa cukup sukses mengangkat citranya pada titik optimal lewat turnamen ini. Kelak, saya yakin ada perusahaan lain yang punya bidikan yang sama.”
Herman Ago ...............................................
“Kurang begitu bergemanya promosi Piala AFF tak lepas dari berakhirnya kontrak kerja sama dengan sponsor utama Tiger Beer, yang selama ini menanggung sebagian besar pendanaan pelaksanaan turnamen. Tanpa suntikan dana segar, AFF tentu kesulitan menjalankan strategi promosi acara. Beruntung atas bantuan Worlds Sport Group (WSG), pemegang lisensi turnamen, gelaran tingkat ASEAN tetap bisa berjalan sesuai dengan jadwal, walau gelegar promosinya tak sebombastis seperti biasanya. Tanpa sokongan dana yang besar sulit untuk melakukan promosi yang baik. PSSI sempat dimintai tolong oleh WSG untuk membantu mencarikan sponsor untuk mendukung Piala AFF. Sayang, karena konsentrasi sedang dialihkan pada persiapan Piala Asia, kami menolak. Biar bagaimana pun Piala Asia merupakan agenda besar yang tak bisa dikesampingkan PSSI, yang ditunjuk sebagai salah satu tuan rumah. Hal yang terjadi di Piala AFF tentu menjadi pelajaran bagi PSSI agar tak mengalami kejadian sama saat menggelar Piala Asia di Jakarta, Juni mendatang. Karena itu, kami menyusun program promosi sejak jauh-jauh hari agar bisa menjual produk Piala Asia ke sponsor. Kita beruntung karena sebagai tuan rumah kita mendapat subsidi dari AFF. Tapi, diukur dari nilai besarannya tentu tak menutupi pengeluaran. Dengan kondisi itu, kita perlu bekerja keras untuk mencari sumber-sumber dana guna menutupi pengeluaran. Puji syukur karena nilai jual Piala Asia tinggi, banyak perusahaan yang menaruh minat untuk mensponsori penyelenggaraan turnamen. Hingga Januari jatah kapling telah terisi penuh. Perusahaan macam Telkomsel serta Nike bersedia masuk menutupi sejumlah pos-pos pengeluaran PSSI. Dalam memilih sponsor, kami juga tidak bisa sembarangan. Perusahaan-perusahaan rokok nasional yang selama ini aktif menyokong ajang sepakbola berskala nasional tak bisa masuk. Kondisi ini pula yang sedikit merepotkan AFF. Ketatnya aturan yang berlaku secara internasional membuat ruang lingkup sponsorship buat Piala AFF terbatas. Saya yakin jika perusahaan rokok boleh masuk, ajang dengan reputasi sebesar Piala AFF tak akan kesulitan mendapatkan sponsor penyokong. Mencermati itu kami menyusun strategi promosi yang tak bersinggungan dengan kebijakan AFC. PSSI lewat tim promosi Piala Asia telah menyusun sejumlah program kerja yang dijalankan secara kontinu guna mendongkrak reputasi ajang besar tersebut. Promosi dilakukan dengan menggandeng media massa agar pesan bisa mengena ke masyarakat. Kami juga menjalin kerja sama dengan pemerintah untuk memberi dukungan, baik secara moral maupun finansial, agar pelaksanaan Piala Asia sukses nantinya. Kami meminta kepada pemerintah memberi kelonggaran dalam hal pembayaran pajak promosi. Keringanan sudah barang tentu mempermudah pihak sponsor masuk. Pemerintah wajib memberi dukungan karena ajang Piala Asia merupakan hajat besar membawa nama bangsa. Sejumlah program promosi telah kami siapkan, di antaranya dengan menyelenggarakan sejumlah laga uji coba yang disiarkan RCTI sebagai stasiun pemegang hak siar Piala Asia. Paling tidak ada 13 laga uji coba yang melibatkan timnas sebagai sarana kampanye memopulerkan Piala Asia di tanah Air. Program lain juga digeber secara berbarengan setiap bulan. Misalnya peluncuran maskot turnamen hingga promosi iklan secara periodik di media massa. Intinya kami tak ingin gelaran Piala Asia digarap secara asal-asalan atau minim promosi seperti halnya Piala AFF. PSSI akan buktikan kita lebih baik dibanding AFF agar reputasi bangsa terangkat di dunia internasional. Secara pribadi, saya optimistis hal itu bisa diwujudkan.”
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Hindari Arogansi

Usul Usil
Sigit Nugroho
http://www.bolanews.com/edisi-cetak/usul.htm

Hindari Arogansi

Apa betul Piala AFF berjalan sesuai standar lima edisi terdahulu? Jawabannya bisa ada dua macam. Secara kasat mata, jelas ada penurunan citra cukup signifikan. Bagaimana sebuah pesta antarnegara se-ASEAN dibilang meriah jika gemanya saja sejalan dengan minimnya promosi?
Jika dulu beberapa bulan sebelum acara dimulai sudah ada warming-up berupa berbagai media promosi, kini tidak ada lagi. Di Indonesia dan Vietnam masih mending karena media cetak maupun elektronik gencar menggarap persiapan negaranya yang akan turun di Piala AFF. Maklum, masyarakat di kedua negara itu memang gila bola.
Di Thailand dan Myanmar, situasinya mirip, meskipun tak setajam Indonesia-Vietnam. Tapi, bagaimana dengan negara-negara anggota AFF lain?

Kurang Gema
Di Singapura sekalipun--yang notabene menjadi tuan rumah Grup B--gema Piala AFF amat lemah. Beberapa supir taksi malah balik bertanya, “Ada perlawanan?” saat saya bicara seputar Piala AFF, Jumat lalu.
Bagaimana situasi di lapangan? Idem ditto. Sehari sebelum pertandingan tidak ada tanda-tanda Stadion Nasional akan dipakai ajang internasional. Kata John Koh, salah satu tokoh sentral FAS, persiapan akan dikebut dalam sehari.
Betul saja. Bahkan satu jam sebelum kick-off laga Indonesia vs Laos, beberapa panitia baru memasang tanda petunjuk dan flyer iklan di pintu-pintu masuk stadion!
Oke, itu gaya Singapura yang serbapraktis dan ekonomis. Maklum, di salah satu negara dengan ongkos kehidupan mahal ini, pola itu cocok. Tapi, saya yakin, dengan tatanan begitu, nilai jual turnamen bisa anjlok.
Orang AFF berkilah toh kualitas pertandingan tetap terjaga. Nah, ini saya sepakat. Dalam kasus sulitnya Laos dikalahkan Indonesia, bisa jadi ada dua analisis. Indonesia melemah atau Laos kian kuat. Yang pasti, berkat babak kualifikasi, ada aroma persaingan seru di ajang dengan format ringkas ini.

Awal Arogansi

Sisi positifnya, konfederasi ASEAN ini tidak cengeng hanya gara-gara ditinggal bir berlogo macan. Setipis apa pun pelurunya, Datuk Poul Mony dkk. tetap maju.
Setidaknya lembaga yang berdiri pada 31 Januari 1984 ini ingin bicara sesuatu. Mereka masih bisa menyisir wilayah bisnis yang luput dari garapan AFC (berdiri 1954). Nah, tinggal kita nanti daya tahan AFF kelak.
Jika konsisten dan inovatif, turnamen ini akan layak jual pada nilai tertinggi. Tapi, jika dibalut sikap arogan, berbagai keunggulan itu akan luntur secepatnya. Seorang sumber dari Tiger Beer menyebut mereka mundur lantaran AFF arogan.
Paket senilai satu juta dolar AS pada gelaran edisi pertama digenjot sampai 2,1 juta dolar pada ajang serupa tahun 2004. Nah, saat AFF merasa jadi primadona, konon mereka menjual paket 2006/2007 senilai 2,8 juta dolar AS atau senilai Rp 25,2 miliar. Take it or leave it?
Nyatanya: bye, bye. Mending ikutan jadi sponsor England Premiere League. Bir Chang saja hanya butuh satu juta dolar AS untuk dipajang di kostum Everton selama semusim. Begitulah kira-kira ending buruk buat lembaga yang terlalu percaya diri.
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Monday, January 8, 2007

Seharusnya Lebih Baik

Usul Usil
Dede Isharrudin


Seharusnya Lebih Baik

“Pascakegagalan di AG 2006, Doha, pembentukan Satgas Pelatnas oleh Kantor Menegpora dan KONI Pusat boleh dianggap sebuah reaksi cepat. Apalagi, menurut Adhyaksa Dault, Menegpora, pembentukan satgas ini adalah untuk menjawab keinginan Presiden Yudhoyono agar Indonesia segera bangkit dengan mewujudkan target pencapaian tiga besar di SEA Games 2007, Thailand.

Sebenarnya satgas ini tak lebih dari pengganti pola direktur pelatnas jangka panjang yang sudah dijalankan KONI Pusat. Perlu diketahui, sejak ada keinginan untuk membangkitkan prestasi olahraga, terutama di dua ajang terakhir, yakni AG 2006 dan SEAG 2007, sejak awal 2006 sudah dijalankan dua pelatnas sekaligus. Pada Mei 2006, pelatnas SEAG 2007 sudah dimulai.

Namun, berkaca dari hasil di Doha 2006, Menegpora ingin coba lebih memfokuskan pelatnas SEAG 2007 yang sudah berjalan agar lebih intensif. Hal itu sah-sah saja, apalagi ia adalah penanggung jawab kemajuan olahraga nasional.

Meski melanjutkan dari yang sudah berjalan, dan punya misi lebih cepat, tepat, dan mencapai hasil maksimal, sudah sepantasnya harus dijalankan dengan intensif dan efisien.

Untuk efisien dengan hasil kerja maksimal sebenarnya tidak sulit. Dengan kerangka yang sudah ada sekarang ini, seperti induk organisasi olahraga (PB), atlet, dan sistem pelatnas, sebenarnya satgas tinggal membuatnya lebih fokus.

Tuntutannya adalah jika sebelumnya dikerjakan dengan rata-rata air, maka kali ini harus bisa lebih maksimal. Orang-orang yang terlibat harus benar-benar peduli, punya banyak waktu, mengerti, dan mau menerima masukan.

Jika selama ini kendala pelatnas adalah soal pencairan dana pelatnas, maka satgas harus bisa mencari solusi percepatan. Istilahnya, jika sebelumnya direktur pelatnas melangkah di jalan biasa, maka satgas seharusnya lebih baik karena memanfaatkan jalan tol yang dimilikinya demi suksesnya program.

Fokus Dua Bidang

Tujuh unit yang ada di satgas, yakni umum, hubungan antarlembaga, perencanaan anggaran, teknis, komunikasi informasi, monitoring evaluasi, dan iptek, sebenarnya tak jauh beda dengan unit-unit yang diperlukan dalam pola pelatnas selama ini.

Karena satgas bertujuan lebih memfokuskan pola pelatnas selama ini, maka ada dua bidang yang perlu ditangani lebih serius, yakni bidang perencanaan anggaran dan teknis.

Bidang perencanaan anggaran memegang peran sangat penting dalam mulus tidaknya program pelatnas. Kantor Menegpora sebagai penjamin lancar tidaknya dana yang dikeluarkan harus benar-benar menunjang eksistensi bidang ini agar tak tampak kedodoran di saat mendukung pelatnas SEAG 2007.

Yang tak kalah penting, bidang teknis jadi titik yang harus diperhatikan. Seperti kita ketahui, masalah peningkatan prestasi nasional tak hanya kendala tak adanya sistem, tapi juga kualitas pelatih dan atlet yang tak henti-hentinya perlu ditingkatkan.

Bidang ini harus dipegang oleh orang yang mengerti benar bagaimana meningkatkan kualitas atlet dan pelatih. Kerja sama dengan PB harus benar-benar dimaksimalkan dalam menetapkan para atlet dan juga pelatih. Ini tak hanya menyangkut hal teknis, tapi juga mental bertanding. Bukan rahasia lagi, minimnya kompetisi membuat pengalaman bertanding atlet kita kurang, apalagi di tingkat persaingan yang lebih tinggi.

Jika melihat dari tugas yang emban, yakni mengambil alih penanggung jawab olahraga prestasi yang sebelumnya dipegang KONI Pusat, tanggung jawab satgas memang berat. Namun, garansi sudah diberikan pemerintah melalui Kantor Menegpora. Tinggal kita tunggu kerja dan hasilnya.

Yang jelas, di balik pembentukan satgas yang mengejar target pendek yakni SEAG 2007, jujur saja kita sebenarnya belum melakukan apa pun demi pembangunan olahraga nasional untuk jangka panjang dan masa-masa setelah SEAG 2007."
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Thursday, January 4, 2007

TIDAK ADA LAGI OMAR BAKRIE DI PSSI

Lilianto Apriadi
TIDAK ADA LAGI OMAR BAKRIE DI PSSI
Rabu, 28 Juni 2006 pukul 16:48:19 WIB

Omar Bakrie adalah sosok pengabdi sejati. Ia mengabdi karena cintanya kepada pekerjaannya. Tak ada korupsi, tak ada rekayasa. Sayang, sikap seperti ini sudah tak ada lagi di PSSI.

Rekan saya, Ary Julianto, menulis di tabloid BOLA dan menyodorkan suatu istilah “manajemen pengabdian”. Ia menyoroti, gara-gara manajemen pengabdian yang tidak mengenal bayaran, PSSI telah membuat kesalahan besar: Persipura Jayapura dan Arema Malang tidak boleh ikut ke Kejuaraan Antarklub Asia.

Dua klub juara Liga Indonesia dan Piala Indonesia itu terlambat mengirim daftar pemain ke Konfederasi Sepakbola Asia (AFC), sehingga AFC mencoret keikutsertaan mereka ke Piala Champion Asia. Bukan klub-klub dari Indonesia saja, tapi juga dari Thailand.

Menyedihkan? So pasti. Memalukan? Amat sangat. So what gitu loh?

Saya agak berbeda dengan pandangan Ary. Justru karena tak ada pengabdian, miskinnya sense of belonging di lingkungan PSSI, hal yang penting buat dunia sepakbola tersepelekan. Manajemen pengabdian sama sekali bukan tanpa bayaran, tidak menerima gaji. Seperti Omar Bakrie yang digambarkan oleh penyanyi Iwan Fals. Pegawai negeri, mengabdi sepenuh hati, tapi tetap menerima gaji.

Pengabdian kepada suatu bidang menimbulkan rasa cinta, fanatisme yang tinggi, sehingga dalam melakukan suatu tindakan sering tidak memperhitungkan berapa yang ia peroleh.

Dalam klub maupun organisasi apa pun yang memiliki gerak di sepakbola, pengabdian memunculkan kecintaan kepada sepakbola. Fanatisme yang tinggi kepada permainan si kulit bundar. Apalagi untuk klub negaranya, begitu cinta, begitu sayang. Sehingga kalau ada sesuatu yang dapat membatalkan tampilan klub negaranya, ia sangat terusik.

Adanya kasus Persipura dan Arema, membuktikan nilai-nilai itu sudah hilang di PSSI. Orang-orang yang mengurusi organisasi sepakbola nasional itu sudah miskin pengabdian. AFC sudah mengingatkan tenggat waktu, ternyata tidak menebalkan fanatisme mereka untuk segera melayangkan daftar nama pemain.

Mereka tidak berpikir ke depan, bagaimana rasanya hati ini jika klub-klub negeri mereka sendiri gagal mempertunjukkan permainannya di lapangan hijau internasional. Mereka sudah kehilangan “fanatisme sepakbola”, kehilangan “hati nurani sepakbola”, kehilangan “rasa cinta sepakbola”.


***


Berbicara pengabdian di lingkungan sepakbola memang diawali oleh rasa cinta kepada sepakbola. Banyak tokoh dapat kita jumpai masuk kategori seperti ini. Dan cinta sepakbola bukan semata berasal dari pemain.

Dimulai tentu dari tokoh tertinggi di organisasi sepakbola tertinggi pula, Sepp Blatter di FIFA. Walau bukan dari pemain terkenal, tapi ia amat mencintai sepakbola sejak muda. Bahkan sebelum menjadi Presiden FIFA, Blatter adalah Sekjen FIFA.

Di AFC, kita kenal tokoh yang sudah puluhan tahun di organisasi itu, yaitu Peter Velappan. Dia juga bukan berasal dari pemain, tapi karya-karyanya di sepakbola sangat besar. Di antaranya menghadirkan Piala Dunia di Asia pada tahun 2002 di mana Korea dan Jepang menjadi tuan rumah.

Memang gara-gara menyindir organisasi sepakbola Asia Tenggara yang kurang profesional, orang mulai mempersoalkan posisinya. Tapi, lepas dari itu ia telah menjelma menjadi tokoh sentral kemajuan persepakbolaan di ranah Asia yang meningkat pesat seperti sekarang ini. Dan, kalau melihat gaya organisasi sepakbola Indonesia dan Thailand dalam Kejuaraan Antarklub Asia, sindiran Velappan amat tepat. Membuktikan bahwa ia memang memiliki pengalaman dan piawai dalam membaca peta manajerial organisasi sepakbola.

Lalu, bagaimana di Indonesia? Apakah kasus Persipura-Arema membuktikan bahwa Indonesia memang tidak memiliki pengabdi-pengabdi sejati di organisasi sepakbola?

Untuk soal ini, Indonesia sebenarnya mempunyai sejarah yang bagus. Kita pernah punya tokoh besar Maladi. Sebelum menjadi Menteri Olahraga ia adalah pemain sepakbola. Kecintaannya kepada sepakbola tak pernah pupus. Di bawah kementeriannya, organisasi dan prestasi sepakbola menjadi perhatian tinggi.

Tokoh-tokoh lain di bawah Maladi, kita mengenal umpamanya Kosasih Purwanegara dan Abdul Wahab yang matang dalam urusan sepakbola. Masih banyak lagi nama yang menghiasi kepengurusan PSSI, khususnya kalangan pengusaha dan TNI, seperti Suparjo Pontjowinoto, Acub Zainal, TD Pardede, Benny Mulyono, dan Syarnubi Said.

Di kepengurusan sekarang sebenarnya Sekjen Nugraha Besoes memiliki perjalanan panjang dalam organisasi sepakbola. Ia pernah menjadi Sekjen dalam kepengurusan PSSI sebelumnya. Ayahnya juga pernah aktif lama di sepakbola.


***


Bergesernya berbagai nilai sekarang ini, organisasi sepakbola mengikuti kondisi permainannya itu sendiri. Sekarang ini sepakbola sudah menjadi sebuah industri, sehingga pengelolaan organisasinya pun mengikutinya, memiliki nilai-nilai profesionalitas yang tinggi.

Namun, organisasi sepakbola bukanlah perusahaan murni. Ia masih memiliki nilai-nilai pengabdian dengan latar belakang orang yang ada di dalamnya datang dari rasa cinta pada sepakbola. Ini berlaku secara universal, di mana pun ia berada.

Sehingga walau Blatter maupun Velappan menjadi orang gajian, bukan berarti pengorbanannya selalu didasari oleh uang. Pekerjaan utamanya untuk kepentingan sepakbola.

PSSI sebenarnya lebih mudah dalam kontrol kerja, karena dalam urusan klub dibantu oleh Badan Liga Indonesia (BLI). Sayangnya, tokoh-tokoh yang muncul di BLI pun tidak lebih baik dibanding yang ada di PSSI. Begitu juga kehadiran kembali sang ketua BLI, Nirwan Bakrie, masih buruk seperti masa keaktifannya beberapa tahun lalu.

Padahal Nirwan yang kaya raya tidak seperti Omar Bakrie yang masih menuntut gaji untuk menyambung hidupnya. Ia mesti bisa lebih konsentrasi di dalam organisasi, termasuk memilih pembantunya yang dijadikan penghubung sepakbola Indonesia dengan AFC.

Email: lili@bolanews.com atau ramtodi@yahoo.com
Lilianto Apriadi
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Pembangunan Olahraga Indonesia

Dato’ Dr. Leonard Andrew de Vries
.....................


Pembangunan Olahraga Indonesia
Perlu Political Will dan Sinergi Antar-Lembaga

Pandai memilih kata-kata yang bernas. Itulah karakteristik arsitek kemajuan olahraga di Malaysia, Dato’ Dr. Leonard Andrew de Vries (72). Ia berpengalaman menjadi guru pendidikan jasmani dan olahraga selama 50 tahun. Dato’ de Vries meraih gelar doktor pendidikan (Ed.D.) dari Columbia University (AS) pada 1975. Pokok-pokok pemikiran Dato’ de Vries tentang bagaimana cara memajukan olahraga di Malaysia disampaikan kepada wartawan BOLA Eko Widodo dalam dua kesempatan di sela-sela International Sports Science Conference (ISSC) di Hotel Marriott Putrajaya, Putrajaya, Malaysia, Desember 2006.


***


“Halo, apa kabar anak muda dari Indonesia? Apa yang sedang terjadi dengan olahraga di negaramu? Kok hanya memperoleh dua keping medali emas di Asian Games Doha lalu? Ayo, nak. Sebagai wartawan olahraga sekaligus kandidat doktor olahraga, kamu harus sampaikan beberapa pokok pemikiran saya agar prestasi olahraga Indonesia tidak semakin tenggelam. Ingat, Indonesia punya potensi keolahragaan sangat besar!

Nak, saya beruntung diminta menjadi konsultan pembangunan olahraga di Thailand. Thailand memiliki konsep yang jelas mengenai pendidikan jasmani dan olahraga. Olahraga di Thailand bisa sukses seperti sekarang karena mereka memiliki akar rumput yang kuat, yakni pendidikan jasmani yang konsisten di sekolah serta masyarakat yang giat berolahraga.

Lewat pendidikan jasmani yang serius dijalankan Departemen Pendidikan sejak sekolah dasar sampai universitas, kami menemukan bibit-bibit atlet. Agar bibit-bibit itu muncul, tentu diperlukan kurikulum yang jelas mengenai pendidikan jasmani (penjas), tenaga pengajar penjas yang kapabel, fasilitas olahraga di sekolah-sekolah, dan adanya kegiatan pertandingan serta aktivitas olahraga baik, internal (intramural) maupun antarsekolah (ekstramural).

Dasar Sukan Negara Malaysia 1988 tegas-tegas mengkategorikan olahraga dalam dua bagian, yakni ”sukan untuk semua (sport for all)” dan ”sukan prestasi tinggi”. Sukan untuk semua mencakup dua hal, yakni olahraga pendidikan dan olahraga rekreasi, sedangkan sukan prestasi tinggi mencakup olahraga amatir dan olahraga profesional.

Dalam konvensi olahraga nasional di Langkawi 11-13 April 1996, muncullah 10 konsep pendekatan sains dan teknologi untuk pengembangan olahraga di Malaysia. Dengan bekal itulah, olahraga Malaysia dibangun. Kami membangunnya pelan-pelan, tidak instan, namun konsisten sebab pemerintah Malaysia menyadari bahwa pembangunan olahraga sama pentingnya dengan ekonomi, perumahan rakyat, pendidikan, dll.

Olahraga dengan pendidikan dalam Dasar Sukan Negara Malaysia menitikberatkan pada keterampilan, strategi, dan pengetahuan olahraga pelajar lewat pendidikan. Pengetahuan dan kemampuan berolahraga dipandu menggunakan kurikulum yang telah ditetapkan. Olahraga dengan pendidikan dilaksanakan di sekolah negeri maupun swasta sejak prasekolah, sekolah menengah pertama, SMA, perguruan tinggi, dan universitas.

Olahraga rekreasi adalah aktivitas olahraga yang diselenggarakan untuk menggalakkan minat dan kegembiraan pelakunya. Olahraga rekreasi terbagi dalam lima kelompok yakni (1) olahraga instruksional, (2) informal, (3) intramural, (4) ekstramural, (5) olahraga di klub. Bentuk permainan di setiap bagian tidaklah sama, bergantung pada kemampuan para pesertanya.

Fokus olahraga amatir adalah membimbing atlet mencapai prestasi tertinggi. Menjadi juara adalah tujuan utama olahraga amatir. Peserta olahraga amatir di bawah bimbingan pelatih selalu mengutamakan pencapaian prestasi maksimal. Olahraga amatir mendapat dukungan dari pemerintah dan memperoleh bantuan keuangan negara.

Olahraga profesional adalah olahraga komersial yang menekankan pada unsur hiburan dan menyediakan hadiah uang bagi sang juara. Peserta boleh didukung perusahaan-perusahaan swasta. Berolahraga adalah pekerjaan utama atlet profesional. Penonton adalah faktor penting dalam olahraga profesional sebab penjualan tiket pertandingan amat mempengaruhi bisnis ini.

Kunci yang tidak kalah penting adalah kerja sama dan komunikasi antarlembaga terkait. Olahraga tidak hanya menjadi tanggung jawab kementerian olahraga, tapi harus menjadi political will dari pemerintah. Sekarang saya sedang menggarap pembangunan olahraga di Brunei Darussalam dan Singapura. Pendekatannya tidak jauh berbeda dengan yang saya lakukan di Malaysia dan Thailand.

Olahragakan Masyarakat

Dibandingkan Malaysia, minat masyarakat Indonesia berolahraga pasti lebih besar. Kami harus bekerja ekstrakeras meyakinkan masyarakat agar melakukan aktivitas olahraga (sports for all). Masyarakat yang giat berolahraga merupakan modal tersendiri bagi pembangunan olahraga di sebuah negara sekaligus investasi intangible sumber daya masyarakat.

Sebagai guru pendidikan jasmani, saya melihat tiga hal yang harus dibangun serentak, yakni sport for all, elite sport, dan sport industry. Masyarakat yang aktif berolahraga pasti akan memberikan dukungan kepada anak atau sanak keluarganya saat mereka menekuni olahraga yang diminati. Atlet yang berbakat yang merupakan produk masyarakat dan sekolah, dimasukkan dalam kategori elite sport.

Mereka yang masuk kategori elite sport dipersiapkan mengharumkan nama bangsa Malaysia lewat olahraga. Merekalah ujung tombak dalam pesta olahraga multicabang. Prestasi di multicabang akan mengangkat kebanggaan orang terhadap olahraga. Jika kondisi itu terus terpelihara, secara otomatis industri olahraga akan berjalan. Jadi, jangan pernah berharap industri olahraga akan berjalan mulus tanpa memiliki iklim kondusif lewat masyarakat yang aktif berolahraga dan mempunyai prestasi olahraga internasional.

Bagaimana menggerakkan masyarakat agar berolahraga? Itu adalah hal spesifik di setiap negara. Namun, harus ada campur tangan pemerintah agar masyarakat Indonesia bergiat olahraga. Menurut dugaan saya, masyarakat Indonesia pasti sedang mengalami penurunan aktivitas berolahraga (BOLA akhirnya memberikan informasi bahwa berdasarkan data Sports Development Index/SDI keluaran Menegpora, dugaan Dato’ de Vries tepat).

Kontribusi Perguruan Tinggi

Nak, sekarang saya mau tanya. Sejauh mana kontribusi perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia terhadap perkembangan olahraga? Apakah perguruan tinggi dan universitas melakukan riset-riset unggulan untuk cabang olahraga andalan Indonesia?

Di Malaysia, universitas dan perguruan tinggi menunjukkan kepedulian yang besar pada olahraga. Kami fokus pada 13 cabang olahraga yang bisa memberikan medali bagi Malaysia di pesta olahraga regional maupun internasional. Mereka melakukan kajian-kajian dan riset terhadap cabang olahraga yang diminati. Targetnya, pada 2008 sekitar 30% perguruan tinggi dan universitas menjadi pusat penelitian untuk cabang-cabang olahraga unggulan.

Kami menggunakan pendekatan sains olahraga untuk cabang-cabang unggulan itu. Para pakar sains olahraga kami siapkan untuk masing-masing induk organisasi olahraga. Di masing-masing negara bagian, kami mendirikan lembaga kajian sains olahraga dan manajemen olahraga. Tentu saja kami melibatkan perguruan-perguruan tinggi di negara-negara bagian itu.

Jadi, lakukanlah penelitian-penelitian olahraga yang aplikatif untuk cabang-cabang yang dikuasai Indonesia, layaknya yang dilakukan Malaysia saat ini. Bagi saya, adanya pendekatan sains olahraga dan banyaknya penelitian aplikatif akan berdampak pada revolusi pemikiran, perilaku, dan aksi insan olahraga di Malaysia di masa depan.

Revolusi pemikiran itu akan terjadi dalam tataran budaya olahraga, intelektualitas, dan sportivitas. Sportivitas dan intelektualitas yang mengakar pada diri pelaku olahraga Indonesia, baik sekadar penggembira maupun atlet, adalah modal berharga bagi perkembangan olahraga masa depan Indonesia.

Nak, saya tahu tak mudah dikau mencerna dan merealisasikan pemikiran-pemikiran idealis di atas. Untungnya, pemikiran-pemikiran idealis kami ini didukung komitmen yang kuat dari pemerintah Malaysia dan Thailand untuk menempatkan pembangunan olahraga di tempat terhormat dalam skala prioritas pembangunan negara. Sebagai wartawan olahraga, dikau pasti tahu prestasi Malaysia dan Thailand di SEAG, Asian Games, maupun Olimpiade, bukan?

Singapura dan Brunei Darussalam tengah melakukan itu. Mereka tak suka instan dan menghargai proses dan mereka akan memanennya beberapa tahun kemudian lewat prestasi. Apakah Indonesia tetap berdiam diri melihat pembangunan olahraga yang dilakukan negara-negara sesama Asia Tenggara itu? Ayo, nak. Bangunkan olahraga Indonesia! (Dato’ de Vries tiba-tiba menepuk pipi wartawan BOLA sambil tersenyum sebelum meninggalkan ruang utama Hotel Marriott Putrajaya. )”
»»  Baca Selanjutnya >>>...

KITA MASIH KENA SIHIR

Lilianto Apriadi
KITA MASIH KENA SIHIR
Kamis, 13 Juli 2006 pukul 12:14:51 WIB
Satu bulan penuh kita sudah merasakan sihir Piala Dunia. Kini kita kembali lagi ke alam nyata. Kembali dengan sepakbola Indonesia. Memang menjadi geli kalau ada yang berharap kita bisa tampil di Piala Dunia sementara PSSI dipimpin dari dalam bui. Sihir dalam bentuk lain?

Berada di tengah-tengah acara nonton bareng pertandingan final Piala Dunia di Kampoeng Bola Senayan yang dihadiri oleh ribuan orang, ada pertanyaan menggelitik. Heran ya kok kita bisa begini?

Piala Dunia berlangsung nun jauh di sana. Piala Dunia jauh dengan sepakbola kita. Tapi, lihat saja sambutan yang begitu gemuruh saat Zinedine Zidane mencetak gol lewat tendangan penalti. Pendukung Prancis bersorak sorai. Mereka tidak mau tahu apakah Zidane kenal dengan kita atau tidak.

Begitu pula ketika Marco Materazzi membuku gol balasan lewat kepalanya, giliran pendukung Italia gemuruh menyambut hasil itu. Mereka juga tak mau tahu apakah Fabio Cannavaro dkk. mengenal mereka atau tidak.

Kelakuan mereka yang rata-rata penggila bola masih bisa dimaklumi. Tapi, kalau seorang menteri, lalu Ketua Umum KONI Pusat, hingga akhirnya seorang Presiden berbicara bahwa suatu saat Indonesia bisa hadir di Piala Dunia, saya jadi bertanya-tanya: jangan-jangan kita sudah gila beneran? Atau beginilah saking besarnya sihir Piala Dunia.

Kegilaan kepada Prancis masih dimaklumi, karena dikaitkan dengan rasa kagum. Begitu pula dengan kegilaan kepada pemain-pemain Italia. Nah, kalau sudah mengagumi PSSI?

Nasionalisme boleh, tapi kalau sudah terlewat batas, nasionalisme menjadi hilang. Kalau memang berharap kepada sepakbola Indonesia ke Piala Dunia, kenapa tidak bisa mulai dari yang kecil dulu. Mulailah dari PSSI itu sendiri. Semestinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika mengajak nonton bareng di Istana Merdeka, bertanya dulu kepada Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, kemana Ketua Umum PSSI, kok tidak hadir?

Setelah bertanya atau pura-pura bertanya, mestinya nonton bareng itu dibubarkan. Presiden mestinya merasa malu, kalau kita nonton produk dunia tapi barang lokal sendiri kurang perhatian.

Atau saat itu Presiden tidak bertanya sementara sang menteri juga pura-pura tidak tahu saja. Sehingga suasana itu seolah berada di luar alam nyata.


***


Bukan hanya merasa tersihir, Piala Dunia yang baru saja berakhir itu memang seperti terjadi di alam mimpi, seperti dalam film-film Hollywood yang skenario atau pun jalan ceritanya di luar alam nyata kita.

Italia menjadi juara dengan dorongan besar oleh kasus beberapa pemainnya di dalam negeri. Zinedine Zidane menjadi pemain terbaik dengan kondisi yang masih simpang siur, kontroversial! Jerman tampil dengan permainan yang di luar perkiraan masyarakatnya sendiri, meninggalkan gaya diesel dan menjadi lebih dinamis. Hingga mereka melahirkan Lukas Podolski dan Miroslav Kloses sebagai pemain muda terbaik dan pencetak gol terbanyak. Brasil yang bermain seperti orang kekenyangan walau Ronaldo menorehkan rekor sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang Piala Dunia dengan 15 gol. Dan banyak lagi mimpi-mimpi itu.

Mimpi itu berada di awang-awang kita. Kini tapak kita berada di bumi lagi, di bumi Indonesia yang mulai Senin (17/7) memutar kompetisi 8 Besar Liga Indonesia. Dapatkah mimpi-mipi itu terwujud di Stadion Petrokimia maupun Panahan? Wow terlalu jauh.

Sihir lain justru terjadi di Liga Indonesia. Para penonton, penitia, pengurus, maupun pengamat sepertinya terus memaklumi kondisi Ketua Umum PSSI yang kini menjadi pesakitan di dalam penjara.

Sebagai penonton Piala Dunia, sering kali kita melihat petinggi-petinggi negara maupun organisasi sepakbola hadir di tribun VIP menyaksikan pertandingan. Kehadiran mereka menjadi dorongan baut tim. Pemain, pelatih dan pengurus menjadi terpacu.

Nah, kalau yang ada di negeri kita sang ketua umum justru berada di balik terali besi. Bagaimana tim maupun pemain bisa terdorong motivasinya? Bagaimana pula dengan pelatih, ofisial, wasit, penonton, dan pengurus lainnya?

Alih-alih bahwa pendelegasian wewenang sudah cukup sebagai penutup persoalan bui Ketua Umum, sebenarnya sudah bisa dijawab dalam sebulan Piala Dunia itu. Presiden FIFA, Sepp Blatter tak beranjak barang sehari pun dari Jerman. Banyak sekali presiden-presiden federasi peserta mendampingi timnya hingga menjadi ketua delegasi. Artinya, kehadiran secara fisik tokoh tertinggi sepakbola sangat penting dalam memajukan persepakbolaan negeri itu.

Maka, kita harus siap menyaksikan laga 8 Besar Liga Indonesia dengan kualitas yang amburadul. Kualitas bukan hanya untuk pemainnya, tapi juga wasit, pelatih, ofisial, hingga penontonnya.

Sebenarnya kualitas minus sudah lama terjadi. Namun, penurunan semakin tajam setelah PSSI tidak lagi memiliki Ketua Umum yang berkantor di Senayan. Permainan tim peserta Liga Indonesia tak ada yang menonjol. Secara signifikan merembet kepada kualitas pemainnya. Tak muncul talenta spesial dalam individu pemain.
Dari sisi manajemen kepengurusan, tokoh-tokoh yang tenaganya dibutuhkan dalam even internasional tidak lagi menonjol. Kita juga tidak lagi memiliki wasit internasional yang sering bertugas di kancah internasional.

Soal dana? Sami mawon. Hadirnya kembali Nirwan Bakrie yang membawa Timnas U-23 ke Belanda bisa jadi akan meninggalkan masalah dana. Ketika ingin berangkat mereka berharap sumbangan dana dari KONI maupun Pemerintah. Ironisnya, dua lembaga pengontrol kualitas olahraga itu menyetujui program instan yang memakan dana puluhan miliaran rupiah itu.

Padahal kalau diurus dengan baik, kompetisi Liga Indonesia yang tak henti diperebutkan sponsor itu, bisa mendatangkan keuntungan guna membiayai Timnas. PSSI tidak perlu lagi menjerit dana operasional maupun teknis.

Kalau di Piala Dunia, Piala Eropa, dan Liga-liga Eropa kita sering “disihir” oleh besarnya keuntungan yang diraup FIFA maupun UEFA dan organisasi liga Eropa, di sini kita sering terkena sihir yang lain. Sponsor berebut, penonton berjubel, tapi panitia berakhir dengan setumpuk utang. Kita mau bekerja keras untuk menggelar kejuaraan, sementara ketua umum kita terbukti bersalah melakukan korupsi.

Adakah penyihir lain yang mampu melawan “sirepan” ini?

Email: lili@bolanews.com atau ramtodi@yahoo.com
Lilianto Apriadi
»»  Baca Selanjutnya >>>...

WORLD CUP NEVER DIE

Lilianto Apriadi
WORLD CUP NEVER DIE
Rabu, 5 Juli 2006 pukul 13:54:58 WIB

Juara bertahan dan tuan rumah akhirnya gugur. Bagi pecinta Brasil dan Jerman, rasanya Piala Dunia sudah berakhir. Namun, sesungguhnya World Cup Never Die, apapun yang terjadi.

Kenapa harus sudah berakhir? Kenapa harus mati? Tengok saja Italia. Bermain energik dan taktis mampu membungkam tuan rumah Jerman di hadapan ratusan ribu pendukungnya di Dortmund, Rabu (5/7) dinihari. Luar biasa Il Azzurri ini. Di kompetisi lokal para pemainnya sedang gundah karena terancam terdegradasi karena dugaan pengaturan skor, tapi di Germany 2006 bermain kesetanan.

Misteri jarak 12 tahun, yaitu tahun 1970, 1982, 1994, dan 2006 terjawab. Di Piala-Piala Dunia itu Italia menembus final. Hanya satu, yaitu pada Piala Dunia 1982, mereka menjadi juara.

Apakah ulangan 1982 juga akan terwujud? Detik-detik menuju sana sedang berlangsung. Pada Piala Dunia 1982 itu seluruh semifinalis adalah negara Eropa, yaitu Jerman, Polandia, Belgia, dan Italia. Pada Piala Dunia sekarang juga begitu, empat semifinalis seluruhnya berasal dari Eropa.

Pada Piala Dunia 1982 yang berlangsung di Spanyol, Italia datang tidak diunggulkan. Yang diunggulkan ketika itu justru Brasil yang datang dengan pemain-pemain terbaik, seperti Socrates, Rivelino, Falcao dan banyak lagi. Kini juga begitu. Tim Samba digadang-gadang, namun terpental. Justru Italia kini secara tak terduga muncul di final.

Tak diduga, lihat saja perjalanannya. Di babak penyisihan langkah Fabio Cannavaro dkk. tak cemerlang. Mereka nyaris kalah dari Amerika Serikat sebelum akhirnya bermain imbang 1-1. Mereka menang atas Ghana dan Ceska.
Di babak 16 Besar, giliran Australia yang hampir memupuskan harapan tim Pizza itu. Hanya bermain 10 orang dan terus ditekan, Australia justru kecurian gol penalti saat injury time.

Namun, lepas dari keberuntungan itu, di babak perempatfinal mereka menyuguhkan permainan meningkat dengan menumbangkan Ukraina 3-0. Lalu, di semifinal Italia membuat Jerman tak bisa melampiaskan dendam kekalahan terakhir 1-4 dalam pertandingan persahabatan.

Kemenangan-kemenangan itu kemudian membuat banyak orang ingin mengetahui apa yang terjadi di baliknya. Bahkan skandal suap yang kemudian sempat membuat seorang pemain Seri A, Gianluca Pessotto, melakukan bunuh diri, dianggap sebagai modal menyatukan semangat para pemain.
Perlu diingat pula, ketika Italia juara ketiga kalinya pada Piala Dunia 1982, strikernya yang kemudian menjadi pahlawan kemenangan, Paolo Rossi, juga baru lepas dari skorsing kasus suap.

Seperti juga di tahun 1982, pada Piala Dunia kali ini Italia juga kesetanan di negeri orang. Para pemainnya yang mayoritas dihuni oleh pemain-pemain berusia emas, mempertontokan paduan energik dan taktik yang indah. Lihat saja gol yang dibuat oleh Fabio Grosso. Gol itu tercipta berkat kejelian dan keterampilan tinggi dari Grosso.begitu pula dengan gol kedua. Alessandro Del Piero membuktikan kelas bahwa ia memang seniman bola. Pujian juga patut dilayangkan kepada Alberto Gilardino, yang menarik tiga pemain Jerman sebelum melepas umpan kepada Del Piero yang berdiri bebas.

Dua gol yang dibuat sama sekali bukan karena kelemahan kiper Jerman, Jens Lehmann. Tapi, memang karena kepiawaian Grosso dan Del Piero.


***


Italia memang sedang menuju masa 1982, namun bukan berarti impian itu sudah terwujud. Calon lawan mereka antara Portugal dan Prancis bukan lawan mudah. Torehan sejarah juga ingin mereka ukir.

Portugal jika saja lolos ke final adalah rekor. Selama ini prestasi mereka baru pada semifinal. Selain sekarang pada Piala Dunia 1966, Eusebio dkk. juga pernah membawa Portugal ke semifinal.

Rekor lain dibuat oleh pelatihnya, Luis Felipe Scolari. Pelatih jangkung ini berarti membawa negara berbeda ke final secara berurutan. Bahkan pada Piala Dunia 2002, dia membawa negerinya, Brasil menjadi juara.

Bagaimana dengan Prancis? Juga punya rekor tersendiri. Hanya selisih satu penyelenggaraan, mereka mampu hadir kembali di ajang terhormat. Padahal kalau dilihat dari hasil Piala Dunia 2002, mereka kandas di babak penyisihan. Ironisnya, mereka tak pernah menang.

Di Jerman, Prancis menunjukkan bahwa mereka belum “mati”. Zinedine Zidane masih punya kelas yang mengagumkan. Bahkan ia yang semula berniat mundur usai pesta ini diminta oleh banyak tokoh agar mengurungkan niatnya.

Zidane telah memberikan pelajaran berharga kepada lawan-lawannya, termasuk para pemain Brasil yang disebut-sebut memiliki keterampilan paling hebat di dunia. Zidane menaklukkan Kaka, Ronaldinho, Cafu, dan rekannya sendiri di Real Madrid, Ronaldo.


***


Pada final nanti, siapa pun lawan Italia, bakal menyuguhkan duel sengit. Misteri final pun bakal mewarnai pertarungan itu. Apakah lewat adu tendangan penalti, seperti yang terjadi Piala Dunia 1994? Atau mulus-mulus saja dalam waktu 2 X 45 menit, seperti dua Piala Dunia terakhir?

Pujian untuk tuan rumah Jerman. Begitu kalah yang menyakitkan –karena gol terjadi menjelang dua menit pertandingan berakhir—mereka hanya terpaku sebentar. Setelah itu, dimotori oleh pelatih Juergen Klinsmann, suasana menjadi penuh kebanggaan. Para penonton termasuk Kanselir Jerman di dalamnya, memberikan aplus kepada para pemain.

Nasib Jerman seperti Italia 1990. Sebagai tuan rumah, Italia kalah di babak semifinal dari Argentina. Tapi pemainnya, Salvatore Schillaci terpilih sebagai pemain terbaik. Inikah hadiah hiburan kedua bagi Jerman setelah srikernya Miroslav Klose akan merebut Golden Shoe sebagai pencetak gol terbanyak? Siapa kira-kira pemain Jerman yang akan meraih Golden Ball meneruskan Oliver Kahn yang meraihnya di Piala Dunia 2002? Apakah dia Michael Ballack?

Perjalanan Piala Dunia masih belum berakhir. Drama-drama di akhir kejuaraan sering menghadirkan adegan mengejutkan. Partai final tetap klimaks, sekalipun tidak menampilkan tuan rumah dan juara bertahan.

Email: lili@bolanews.com atau ramtodi@yahoo.com
Lilianto Apriadi
»»  Baca Selanjutnya >>>...

Iris : GGD

And i don't want the world to see me, 'cause i don't think that they'd understand, when everything's made to be broken, i just want you to know who i am,,,

My Project

Recent Post