Sumber:http://endromono.wordpress.com/2005/06/17/nonton-bola-di-gajayana-sebuah-catatan-lapangan/
Nonton Bola di Gajayana: Sebuah catatan lapangan
Laki-laki muda itu sudah menjadi suporter fanatik klub sepakbola
kotanya sejak masih anak-anak. Ia lahir dan tinggal di
Timur, dan klub sepakbola itu bernama Arema (Arek Malang). Yuli
Sugianto adalah salah satu suporter paling populer di kalangan
Aremania, sebutan bagi suporter Arema. Bersama suporter Persebaya
(Persatuan Sepakbola Surabaya) yang disebut Bonek (bondho nekat,
modal nekat), Aremania terkenal sebagai suporter palig fanatik dalam
sejarah sepakbola
Yuli berkisah sudah sejak anak-anak ia selalu berusaha melakuka apa
saja demi menonton pertandingan Arema. Semasa duduk di bangku Sekolah
Menengah Pertama (SMP) misalnya, jika tak ingin terlambat datang ke
stadion, ia harus membolos sekolah sore. Dan jika pertandingan
berlangsung di luar
bersiap menunggu di pinggir jalan raya, dan siap melompat ke dalam
bak truk atau mobil angkutan barang lain untuk menuju
Sekarang Yuli adalah dirigen Aremania. Seorang sirigen, layaknya
seorang konduktor dalam pertunjukan orkestra, adalah orang yang
memimpin para suporter untuk menyanyi dan menari dalam sebuah
pertandingan sepakbola. Seorang dirigen menentukan lagu mana yang
harus dinyanyikan dan gerakan tubuh macam apa yang mesti dilakukan.
Aremania punya dua dirigen. Selain Yuli juga da Yosep, yang biasa
dipanggil Kepet.
Di kalangan Aremania, dirigen dipilih dengan cara yang tidak terlalu
rumit. Tidak ada pemungutan sura yang berlangsung dengan ketat.
Seseorang dipilih menjadi dirigen karena penampilan fisiknya yang
menarik (ceria, nyentrik, dll.), kemampuannya berkomunikasi dengan
suporter lain, dan kemampuannya membangkitkan semangat suporter untuk
terus memotivasi tim yang didukungnya. Oleh sejumlah supoter seorang
dirigen ditunjuk dengan cara yang sulit dijelaskan, hampir kebetulan
saja, sebelum sebuah pertandingan sepakbola dimainkan. Tetapi begitu
seorang dirigen terpilih, jabatan itu akan disandangnya terus, tanpa
batas waktu yang jelas, sampai ia mengundurkan diri atau kehilangan
kemampuan untuk memimpin. Begitulah, tujuh tahun lalu dan Kepet
terpilih begitu saja sebagai dirigen Aremania. Dana hanya kepda
mereka berdualan 30 ribuan Aremania mau tunduk. “Mungkin saya dipilih
karena berambut gonrong dan suka menari sambil memanjat pagar
pembatas lapangan. Kalau Kepet mungkin karena ia punya banyak teman.
Ia
Di Stadion Gajayan Malang, markas Arema, Yuli dan Kepet mesti berbagi
wilayah kekuasaan. Wilayah kekuasaan Yuli adalah tribun bagian timur,
tepat di bawah papan skor. Wilayah Kepet adalah tribun bagian
selatan. Sementara tribun VIP dibiarkan tanpa dirigen.
Pertandingan sepakbola biasanya dimulai jam 4 sore, tetapi para
suporter sudah memadati stadion sejak 2 jam sebelumnya. Mereka
memainkan genderang, terompet, menyanyi, menari dan menyulut kembang
api dan petasan. Sebelum dirigen datang, atraksi-atraksi ini
berlangsung sporadis, dalam kelompok-kelompok kecil, dan tidak
kompak. Tetapi begitu mereka melihat kedatangan Yuli dan Kepet,
secara otomatis semuanya akan bertepuk tangan dan bertempik-sorak
seperti menyambut kedatangan presiden mereka. Yuli dan Kepet
tersenyum, dan begitu mereka melambaikan tangan, ribuan suporter ini
menjadi lebih tenang. Semua musik, lagu, dan tarian dihentikan. Yuli
dan Kepet akan segera menaiki singgasana mereka, yaitu pagar besi
pembatas lapangan setinggi 2 meter. Mreka mulai menjalankan tugasnya;
sambil berdiri di atas pagar menghadap ke tribun penonton mereka
menggerakkan tangan dan kaki, memiringkan dan memutar tubuhnya ke
kiri, kanan, depan, dan belakang sebagai alat untuk memberi aba-aba.
Ribuan penonton menjadi kompak dan memainkan musik, menyanyi, dan
menari. Semuanya mengikuti aba-aba dan contoh gerakan yang dilakukan
Yuli dan Kepet.
Sepuluh menit sebelum pertandingan dimulai, Yuli dan Kepet memberi
aba-aba berhenti. Kalau mereka sudah menaikkan tangan kanan ke atas,
itu artinya tarian akan berhenti dan para suporter akan segera
menyanyikan lagu Padamu Negeri.[1] Para pemain memasuki lapangan,
wasit meniup peluit, pertandingan segera dimulai, tarian dan lagu
dimainkan kembali. Karena atraksi-atraksinya yang menarik, Arema
pernah memenangi penghargaan suporter terbaik dari Persatuan
Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
Sebelumnya Aremania bereputasi buruk sebagai suporter yang sering
membuat kerusuhan. Sama halnya dengan Bonek. Sebagai suporter dari
klub sepakbola besar dan sudah cukup tua (Persebaya berdiri 1927)[2],
yang sering menjadi juara liga, Bonek bahkan punya sejarah yang lebih
panjang dalam berbagai kerusuhansepakbola di Indonesia. Mereka
terkenal karena dengan aksinya merusak kereta api, sarana-sarana umum
dan menjarah warung dan toko bahan makanan di kota-kota tempat
Persebaya bermain. Itulah sebabnya sekarang gelandangan, perusuh, dan
penjarah yang berkeliaran di kota-kota disebut saja dengan Bonek.
jabatan mantan Presiden Abdurrahman Wahid bahkan juga
disebut “demonstran Bonek”.
Bonek dan Aremania adalah musuh bebuyutan. Jika Aremania dan
Persebaya bertemu dalam satu pertandingan, hampir bisa dipastikan
bahwa kedua kelompok suporternya akan terlibat dalam bentrokan, yang
tak jarang menyebabkan korban tewas. Sampai beberapa tahun lalu, di
Surabaya dan
pribadi. Jadi jika Persebaya bermain di Malang, maka Aremania akan
merusaki semua kendaraan berplat nomor L (plat nomor Surabaya),
sebaliknya jika Arema bermain di Surabaya, ganti para Boneklah yang
akan merusaki kendaraan berplat nomor N (plat nomor Malang). Kalau
tidak merusaki, biasanya para suporter ini mencegat kendaraan-
kendaraan dan meminta sejumlah uang; bisa 10 ribu, 20 ribu atau 50
ribu, tergantung keberhasilan negosiasi yang dilakukan. Sebuah
kendaraan bisa juga selamat jika si pengemudi bisa menunjukkan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) yang menunjukkan bahwa ia adalah warga setempat.
Tingkat kerusuhan makin berkurang sejalan dengan profesionalisasi
Liga Sepakbola
asing mulai masuk, dan sanksi bagi klub sepakbola yang suporternya
membuat kerusuhan dijalankan dengan keras oleh PSSI. Pihak manajemen
klub, biasanya bekerjasama dengan pemerinatah daerah (Pemda), lantas
mulai mendirikan dan membiayai organisasi-organisasi untuk mengatur
suporternya. Kelompok-kelompok suporter yang tumbuh dengan sendirinya
di kalangan rakyat kemudian dianggap liar dan berbahaya, dan karena
itu dianggap perlu dididik dan diorganisasikan. Maka kini Bonek
secara rutin memeroleh dana pembinaan dari Pemda Surabaya dan dana
opersional dari Persebaya. Dan beberapa tahun lalu di
organisasi Persija (Persatuan Sepakbola Jakarta) yang disebut The
Jack dan juga di Solo berdiri organisasi suporter Pelita Solo yang
disebut Pasopati.[3]
Satu-satunya kelompok suporter besar yang tetap tinggal “liar” adalah
Aremania. Klub dan Pemda tidak memberi bantuan dana atau berkeinginan
membuat organisasi formal untuk suporter.
kelompoknya sendiri dengan keinginan mereka sendiri, kelompok-
kelompok ini mereka sebut dengan Korwil (Koordinator Wiyalah). Di
Malang sekarang ini sekurang-kurangnya ada 125 Korwil Aremania. Tiap
Korwil punya seorang ketua yang hanya bertugas mengumpulkan suporter
di wilayahnya menjelang Arema bertanding. “Tidak perlu organisasi-
organisasian. Kalau ada organisasi itu repot, nanti malah diatur-
atur, disuruh begini, disuruh begitu, bayar ini, bayar itu. Apalagi
kalau sampai dikait-kaitkan sama partai politik segala,” kata Ponidi-
dikenal sebagai Tembel-Ketua Korwil Stasiun. Meski tiap Korwil punya
ciri khas sendiri, yang ditandai dengan bendera, sapanduk, seragam,
dan dandanannya, komando di stadion tetap ada di tangan dirigen.
Hanya Yuli dan Kepet yang mampu mengatur dan menenangkan
merea. “Pengurus klub atau walikota sekalipun tidak akan bisa ada
artinya bagi suporter. Dia tak akan mampu mengatur 30 ribu orang.
Tapi begitu Yuli atau Kepet yang ngomong, ya semuanya manut,” jelas
Tembel.
Yuli adalah pemuda dari keluarga miskin yang tinggal di sebuah
kampung di bagian timur
sejak lulus dari sebuah Madarasah Aliyah, Yuli bekerja sebagai
pencuci mikrolet-angkutan umum dalam
4 sore hingga jam 12 malam, dari pekerjaannya, dalam sehari Yuli bisa
memeroleh 10 ribu hingga 15 ribu rupiah.
Sejak menjadi dirigen, Yuli praktis berhenti bekerja. Menurutnya
pilihan ini adalah sara orangtuanya yang tak tahan melihat Yuli
menghabiskan hampir semua waktunya untuk mengurusi sepakbola,
sepakbola, dan sepakbola. Ia kini menggantungkan hidupnya pada
orangtuanya. Bapaknya, Asip, bekerja sebagai tukang kayu panggilan.
Semenntara ibunya, Juwariyah, mendapatkan uang dengan menjual makanan
rumahan bikinannya ke warung-warung di sekitar kampungnya. Yuli
mengatakan setiap hari mendapat uang saku antara 500 hingga 2000
rupiah dari bapak atau ibunya. “Yul, ini ada sedikit uang untuk beli
rokok,” kata Yuli menirukan ibunya.
Jika Liga sedang berjalan-yang berarti setiap minggu hampir selalu
saja ada pertandingan sepakbola-Yuli harus menyisihkan sedikit jatah
uang rokoknya agar bisa membeli tikat dan masuk stadion. Tetapi kalau
kondisi keuangan keluarganya yang benar-benar sulit, Yuli kadang
terpaksa menjual asesoris-asesoris suporternya untuk bisa membeli
tiket. Tak jarang ia harus merelakan kaus atau syal kesayangannya
dengan harga 10 hingga 20 ribu rupiah. “Sebenarnya sedih juga, karena
barang-barang itu punya nilai sejarah bagi saya. Tapi saya akan lebih
sedih lagi kalau tidak bisa masuk ke stadion dan menjadi dirigen bagi
teman-teman,” katanya. Kadang-kadang Yuli juga membantu menjual tiket
pertandingan. Beberapa hari sebelum pertandingan Yuli akan mengambil
tiket di Mess Arema. Untuk tiap tiket seharga 10 ribu rupiah bisa
dijualnya ia mendapat bagian 10 persen atau seribu rupiah. Agar bisa
nonton pertandingan sekurang-kurangnya Yuli harus bisa menjual 10
tiket.
Seperti kebanyakan pemuda
miskin, Yuli gemar sepakbola dan sering terlibat tawuran (perkelahian
massal) antarkampung. “Buat saya dulu tawuran adalah bagian dari
sepakbola. Sepakbola nggak ada tawuran seperti sepakbola banci,” kata
Yuli. Ia kemudian bercerita, beberapa tahun lalu-sebelum menjadi
dirigen-bersama 30 temannya ia datang ke
bertanding. Ia berangkat dari rumah dengan sudah menyiapkan sebilah
pedang. “Waktu itu, ini perlengkapan standar,” katanya. Di Jakarta ia
terlibat bentrokan dengan kelompok Bonek di depan Stasiun Pasar
Senen. Mula-mula hanya saling melempar batu, tapi kemudian menjadi
saling kejar, memukul dengan potongan kayu atau besi, bahkan hingga
sabetan pedang. “Yang saya ingat, keesokan harinya saya baca di koran
ternyata ada 3 orang Bonek yang mati. Sementara kami semua selamat,”
katanya.[4]
Yuli kini ingin melupakan masa lalunya. Di ruang tamu rumahnya yang
sempit, ia memasang dotonya ketika bersalaman dengan Ketua PSSI Agum
Gumelar. Di foto itu, Yuli-berambut gondrong dan berkaus Arema warna
biru-tampak tersenyum bangga. Katanya, “Saya diundang di acara
pembukaan Liga
mewakili suporter”.
Karena tak bekerja, sehari-hari Yuli menghabiskan waktunya dengan
nongkrong sja. Saya ingat waktu bertemu dengannya pertama kali tiga
tahun lalu, ia tengah nongkrong di Salon Cimenk yang terletak
beberapa ratus meter saja dari rumahnya. Didik, pemilik salon ini,
adalah teman Yuli sesama Aremania. Ketika saya datang rupanya mereka
sedang membicarakan rencana menjahit pakain dirigen baru buat Yuli.
Untuk urusan dandanan Yuli mengaku memang sering dibantu Didik.
Sekali mencat rambut ia cuma akan membayar 10 atau 20 ribu. Tapi Yuli
lebih sering tak membyara, karena ia memang jarang punya cukup uang.
Suatu ketika karena merasa sungkan dan terlalu sering tidak membayar,
sebelum berangkat ke stadion Yuli pernah mencat saja rambut
gondrongnya dengan cat kayu, warna biru. Jelasnya, “Agar mudah
membersihkannya, saya lumuri dulu rambut saya dengan minyak goreng,
setelah itu baru saya cat. Saya ingin selalu bisa menarik perhatian
di lapangan.”
Yuli punya cukup banyak koleksi asesoris Aremania. Dengan bersemangat
ia menunjukkan koleksi kaus dan pakaian dirigennya pada saya. Yuli
punya macam-macam kaus Arema, dari kaus seperti yang dipakai para
pemain-warna biru putih-sampai kaus-kaus bergambar kepala singa,
lambang Arema, yang memang punya julukan sebagai tim Singo Edan
(singa gila). Kebanyakan kaus macam ini bertuliskan “Kera Ngalam”
atau “Ongis Nade”. Keduanya adalah bahasa slang
berarti “Arek Malang” dan “Singo Edan”.
“Saya biasanya pakai kaus Arema, tapi bawahannya bisa ganti-ganti,
yang penting warna dan modelnya menyolok mata. Seorang teman suporter
pernah memberi saya pakaian Skotlandia,” kata Yuli sembari
mengeluarkan pakaian bermotif kotak-kotak khas skotlandia dari
lemarinya. Sebentar kemudian ia mengeluarkan lagi beberapa pakaian,
dari yang berbahan kulit sintetis hingga kain sarung dan kain perca.
Hampir semua pakaian ini dirancang sendiri oleh Yuli. Biasanya ia
mendapat ide model-model pakaian baru setelah menonton pertandiangan
sepakbola Liga Italia atau Inggris di televisi.
Saya membuka-buka koleksi foto Yuli. Ia memberikan penjelasan detil
untuk tiap foto yang saya lihat. Ketika saya sampai pada sebuh foto
yang memerlihatkan sepasang lelaki dan perempuan berbaju pengantin,
sementara di sekelilingnya adalah laki-laki dan peremuan yang
semuanya berkaos biru Arema, Yuli menjelaskan bahwa itu adalah acara
pernikahan seorang Aremania. Ia malah menceritakan tentang seorang
Aremania lain yang naik haji ke Mekkas dengan membawa syal dan
bendera Arema.
Kamar Yuli kecil saja, 3 kali 3 meter. Dindingnya dicat biru,
dipenuhi poster dan macam-macam hiasan dinding yang berbau Arema.
Sebuah poster paling besar, kira-kira berukuran 1 kali 1,5 meter,
dibuat dengan teknik cetak yang baik, memerlihatkan gambar kepala
singa, foto tim Arema, dan ribuan suporter Arema. Bagian bawah poster
itu bertuliskan “Di saat prestasi bangsa Indonesia sedang terpuruk,
bumi pertiwi bersimbah darah, nusantara sedang tercabik, Aremania
melalui panggung sepakbola telah membuat jutaan pasang mata di layar
kaca terkagum oleh sportivitas,” kemudian dilanjutkan dengan kalimat-
kalimat berbahasa Inggris, “Aremania, pride of the city, friendship
without frontier, footbal without violence, the incorporable
suporter, the incredible Malangese”.
Di kamar ini Yuli mengarang tarian dan lagu-lagu buat Aremania.
Sebenarnya ia tak benar benar-benar mengarang, ia hanya memodifikasi
saja syair lagu-lagu yang sudah asa, sementara nada dan iramanya
tetap dipertahankan. Seumbernya bisa datang dari mana saja. Bisa lagu-
lagu tentara Indonesia, lagu pop, lagu anak-anak, lagu pramuka, lagu
selamat ulang tahun, sampai lagu suporter Juventus, suporter
kesebalasan Cili, atau lagu marinir Amerika yang dilihatnya di film
atau televisi. Yuli hafal di luar kepala semua lagu yang berjumlah 30-
an itu. Untuk tarian, Yuli mengaku sekenanya saja. Prinsipnya adalah
ia harus bisa membuat gerakan tubuh yang mudah ditirukan dan dingat
orang lain. Menurut Yuli, seringkali para suporter juga memberikan
usulan tarian dan lagu baru beberapa saat sebelum sebuah pertandingan
dimulai.
Kini orang ramai berdatangan ke Stadion Gajayan. Mereka datang bukan
hanya untuk sepakbola, tetapi juga untuk melihat bagaimana Aremania
menyanyi dan menari. Dulu menonton sepakbola di Gajayan hanyalah
monopoli orang-orang pribumi laki-laki, tapi kini perempuan dan orang-
orang keturunan Cina juga datang menonton ke stadion. Hampir-hampir
tak ada lagi kerusuhan dan perkelahian.
“Cita-cita saya, pagar besi pembatas tribun dengan lapangan nanti
tidak perlu ada lagi. Jadi kita menonton sepakbola dengan enak, tidak
ada perkelahian, tidak ada suporter yang mengganggu pemain. Saya juga
ingin semua golongan bisa bersatu di sini. Kaya atau mniskin, laki-
laki atau perempuan, Cina atau bukan Cina, pejabat atau orang biasa,
Islam atau Kristen, di sini semuanya bisa sama,” kata Yuli.
0 comments:
Post a Comment