Popular Post

Sugeng Rawuh ---> Welcome ---> Ahlan wa Sahlan ---> Selamat Datang di Ngroto,Gubug,Grobogan
CahNgroto.NET

Wednesday, March 10, 2010

Kisah Simbah Abdurrahman Ganjur - 2 ( Simbah Ganjur Godho Mustoko )

Pada suatu hari Kyai Abdurrahman Ganjur teringat kembali pada tujuan semula, untuk mencari ayahnya di tanah Jawa. Beliau merasa yakin ayahnya masih berada di tanah Jawa, dan belum kembali ke tanah Persia. Karena rasa rindu pada sang ayah, maka timbul keinginannya untuk mencari. Hal tersebut disampaikan kepada gurunya, dan mohon izin meninggalkan tugas guna mencarinya. Sunan Kalijaga terharu mendengar keinginan Abdurrahman, maka beliaupun mengizinkan juga. Disuruhnya dia pergi ke hulu sungai Tuntang, karena suatu saat nanti ayahnya akan lewat. Daerah yang ditunjukkan gurunya itu, suatu tempat di pinggir sungai Tuntang yang banyak tanaman glagah.
Setelah berpamitan kepada guru dan ibunya, berangkatlah Kyai Abdurrahman Ganjur menuju ke daerah hulu sungai Tuntang dengan menumpang perahu. Ketika sampai di daerah seperti yang ditunjukkan gurunya, turunlah Abdurrahman dari atas perahu. Beliau kemudian mendirikan gubug di pinggir sungai, agar dapat melihat ayahnya bila lewat di sungai itu. Ternyata gubug yang didirikan Kyai Abdurrahman, berdekatan dengan pedukuhan, yang dulu pernah disinggahi para santri Sunan Kalijaga waktu mengawal rakit.
Bertahun-tahun Abdurrahman Ganjur tinggal di pedukuhan itu, sambil mengajar mengaji kepada warga sekitar. Banyak juga warga dukuh lain, yang datang untuk belajar mengaji kepadanya. Karena itu pedukuhan yang semula sepi, akhirnya menjadi ramai juga. Oleh Kyai Abdurrahman Ganjur, pedukuhan itu diberi nama “Ngroto”. Konon nama Ngroto berasal dari kata roto (rata), karena dulu rata dikelilingi tanaman glagah. Dari kata roto itulah akhirnya berubah menjadi ngroto, dan nama tersebut dipakai sebagai nama desa hingga sekarang.
Pada suatu hari Kyai Abdurrahman Ganjur melihat ada seseorang yang berpakaian kyai, yang sedang menaiki rakit bambu di sungai Tuntang. Ketika sampai di dekatnya, tiba-tiba rakit berhenti karena tersangkut tonggak. Orang tersebut sudah berusaha untuk mencabut tonggak, tetapi tidak berhasil juga. Melihat hal itu Kyai Abdurrahman Ganjur datang membantu, dan tonggak itu dapat dicabut. Kyai Abdurrahman Ganjur juga mempersilahkan orang tersebut singgah di gubugnya, walau hanya sebentar. Dalam bersilaturahmi orang tersebut bercerita, bahwa dirinya berasal dari Persia. Sudah lama tinggal di tanah Jawa, untuk berdagang sambil menyiarkan agama Islam di daerah. Kyai Abdurrahman Ganjurpun bercerita, bahwa dirinya juga berasal dari Persia. Datang di tanah Jawa karena diajak ibunya, untuk mencari ayahnya yang pergi ke tanah Jawa. Mendengar cerita Kyai Abdurrahman Ganjur, tiba-tiba tamu itu merangkul sambil menangis. tamu itu berkata, bahwa tidak salah lagi kalau Kyai Abdurrahman Ganjur adalah anaknya. Keduanya saling berpelukan melepas rindu, karena bertahun-tahun tidak bertemu. Kyai Abdurrahman Ganjur meminta kepada ayahnya, untuk bersedia tinggal di pedukuhan Ngroto. Tetapi beliau mengatakan, bahwa ada tugas penting yang harus diselesaikan dulu di Demak.
Syahdan Nyi Samsiyah di Demak, sangat rindu kepada putra yang lama pergi mencari ayahnya. Akhirnya beliaupun menyusul putranya, yang berada di pedukuhan Ngroto.
Selama berada di pedukuhan Ngroto, pekerjaan Nyi Samsiyah adalah membantu putranya mengajar mengaji para santri. Dalam mengajar mengaji beliau menggunakan metode eja ala Persia. Sebagai contoh mengeja seperti alif fat ah a; alif kasro’ I; alif dluma u, untuk santri pondok Ngroto akan mengejanya alif jabar a; alif ajer i; alif apes u. Inilah yang para santri, yang lulus dari pondok pesantren Ngroto sampai sekarang ini.
Bertahun-tahun ibu dan anak tinggal di pedukuhan Ngroto, dan ternyata ayahnya tidak juga datang. Sehingga pada suatu hari, Nyi Samsiyah yang sudah tua itu wafat. Dengan dibantu para santri, jenazah ibunya dimakamkan di pinggiran sungai Tuntang. Beberapa tahun kemudian, Kyai Abdurrahman Ganjur juga wafat. Oleh warga pedukuhan, jenazah beliau dimakamkan berdampingan dengan makam ibunya. Karena tidak ada yang merawat, makam beliau akhirnya rata tertimbun lumpur sungai Tuntang.
Selama hidup Kyai Abdurrahman Ganjur sibuk mengelola pondok dan menunggu kedatangan sang ayah, sehingga tidak mempunyai niat untuk kawin. Masyarakat desa Ngroto sekarang banyak yang mengatakan, bahwa Kyai Abdurrahman Ganjur adalah kyai yang wadat (tidak kawin). Makam Kyai Abdurrahman Ganjur sampai sekarang ini, masih dihormati penduduk desa Ngroto. Setiap hari selalu saja ada yang datang ke makam beliau, untuk melaksanakan doa kubur. Ternyata kemasyhuran nama Kyai Abdurrahman Ganjur, sampai juga ke daerah lain. Hal ini terbukti adanya warga luar daerah , yang datang untuk berziarah. Sekarang di depan cungkup makam dibangun pendopo besar, yang dapat digunakan para peziarah untuk bermalam.

Di sekitar makam beliau, tiap tahun diadakan upacara “sego galeng”. Upacara itu merupakan tradisi peninggalan orang-orang tua desa Ngroto zaman dulu, yang masih dilestarikan sampai sekarang. Bentuk upacara sego galeng adalah memajang nasi lengkap dengan lauk pauknya, diatur memanjang seperti pematang sawah (bahasa jawa : galeng). Setelah selesai acara doa bersama, sego galeng dijadikan rebutan warga yang hadir. Sambil makan nasi galeng, warga disuguh acara tradisi siraman air dawet kepada perangkat desa. Pada acara itu Kepala Desa dan perangkatnya, disiram air dawet hingga basah kuyub. Menurut keterangan tokoh masyarakat, bahwa tujuan upacara itu adalah memohon berkah kepadaNYA agar panen padi di desa Ngroto dapat berhasil baik. Adapun maksud penyiraman air dawet kepada perangkat desa, agar mereka dapat memimpin desa Ngroto dengan adil dan bijaksana.

Repost:
http://heruhardono.blogspot.com/2009/12/abdurrahman-ganjur-membuka-pedukuhan.html

0 comments:

Iris : GGD

And i don't want the world to see me, 'cause i don't think that they'd understand, when everything's made to be broken, i just want you to know who i am,,,

My Project

Recent Post