Lilianto Apriadi
TIDAK ADA LAGI OMAR BAKRIE DI PSSI
Rabu, 28 Juni 2006 pukul 16:48:19 WIB
Omar Bakrie adalah sosok pengabdi sejati. Ia mengabdi karena cintanya kepada pekerjaannya. Tak ada korupsi, tak ada rekayasa. Sayang, sikap seperti ini sudah tak ada lagi di PSSI.
Rekan saya, Ary Julianto, menulis di tabloid BOLA dan menyodorkan suatu istilah “manajemen pengabdian”. Ia menyoroti, gara-gara manajemen pengabdian yang tidak mengenal bayaran, PSSI telah membuat kesalahan besar: Persipura Jayapura dan Arema Malang tidak boleh ikut ke Kejuaraan Antarklub Asia.
Dua klub juara Liga Indonesia dan Piala Indonesia itu terlambat mengirim daftar pemain ke Konfederasi Sepakbola Asia (AFC), sehingga AFC mencoret keikutsertaan mereka ke Piala Champion Asia. Bukan klub-klub dari Indonesia saja, tapi juga dari Thailand.
Menyedihkan? So pasti. Memalukan? Amat sangat. So what gitu loh?
Saya agak berbeda dengan pandangan Ary. Justru karena tak ada pengabdian, miskinnya sense of belonging di lingkungan PSSI, hal yang penting buat dunia sepakbola tersepelekan. Manajemen pengabdian sama sekali bukan tanpa bayaran, tidak menerima gaji. Seperti Omar Bakrie yang digambarkan oleh penyanyi Iwan Fals. Pegawai negeri, mengabdi sepenuh hati, tapi tetap menerima gaji.
Pengabdian kepada suatu bidang menimbulkan rasa cinta, fanatisme yang tinggi, sehingga dalam melakukan suatu tindakan sering tidak memperhitungkan berapa yang ia peroleh.
Dalam klub maupun organisasi apa pun yang memiliki gerak di sepakbola, pengabdian memunculkan kecintaan kepada sepakbola. Fanatisme yang tinggi kepada permainan si kulit bundar. Apalagi untuk klub negaranya, begitu cinta, begitu sayang. Sehingga kalau ada sesuatu yang dapat membatalkan tampilan klub negaranya, ia sangat terusik.
Adanya kasus Persipura dan Arema, membuktikan nilai-nilai itu sudah hilang di PSSI. Orang-orang yang mengurusi organisasi sepakbola nasional itu sudah miskin pengabdian. AFC sudah mengingatkan tenggat waktu, ternyata tidak menebalkan fanatisme mereka untuk segera melayangkan daftar nama pemain.
Mereka tidak berpikir ke depan, bagaimana rasanya hati ini jika klub-klub negeri mereka sendiri gagal mempertunjukkan permainannya di lapangan hijau internasional. Mereka sudah kehilangan “fanatisme sepakbola”, kehilangan “hati nurani sepakbola”, kehilangan “rasa cinta sepakbola”.
***
Berbicara pengabdian di lingkungan sepakbola memang diawali oleh rasa cinta kepada sepakbola. Banyak tokoh dapat kita jumpai masuk kategori seperti ini. Dan cinta sepakbola bukan semata berasal dari pemain.
Dimulai tentu dari tokoh tertinggi di organisasi sepakbola tertinggi pula, Sepp Blatter di FIFA. Walau bukan dari pemain terkenal, tapi ia amat mencintai sepakbola sejak muda. Bahkan sebelum menjadi Presiden FIFA, Blatter adalah Sekjen FIFA.
Di AFC, kita kenal tokoh yang sudah puluhan tahun di organisasi itu, yaitu Peter Velappan. Dia juga bukan berasal dari pemain, tapi karya-karyanya di sepakbola sangat besar. Di antaranya menghadirkan Piala Dunia di Asia pada tahun 2002 di mana Korea dan Jepang menjadi tuan rumah.
Memang gara-gara menyindir organisasi sepakbola Asia Tenggara yang kurang profesional, orang mulai mempersoalkan posisinya. Tapi, lepas dari itu ia telah menjelma menjadi tokoh sentral kemajuan persepakbolaan di ranah Asia yang meningkat pesat seperti sekarang ini. Dan, kalau melihat gaya organisasi sepakbola Indonesia dan Thailand dalam Kejuaraan Antarklub Asia, sindiran Velappan amat tepat. Membuktikan bahwa ia memang memiliki pengalaman dan piawai dalam membaca peta manajerial organisasi sepakbola.
Lalu, bagaimana di Indonesia? Apakah kasus Persipura-Arema membuktikan bahwa Indonesia memang tidak memiliki pengabdi-pengabdi sejati di organisasi sepakbola?
Untuk soal ini, Indonesia sebenarnya mempunyai sejarah yang bagus. Kita pernah punya tokoh besar Maladi. Sebelum menjadi Menteri Olahraga ia adalah pemain sepakbola. Kecintaannya kepada sepakbola tak pernah pupus. Di bawah kementeriannya, organisasi dan prestasi sepakbola menjadi perhatian tinggi.
Tokoh-tokoh lain di bawah Maladi, kita mengenal umpamanya Kosasih Purwanegara dan Abdul Wahab yang matang dalam urusan sepakbola. Masih banyak lagi nama yang menghiasi kepengurusan PSSI, khususnya kalangan pengusaha dan TNI, seperti Suparjo Pontjowinoto, Acub Zainal, TD Pardede, Benny Mulyono, dan Syarnubi Said.
Di kepengurusan sekarang sebenarnya Sekjen Nugraha Besoes memiliki perjalanan panjang dalam organisasi sepakbola. Ia pernah menjadi Sekjen dalam kepengurusan PSSI sebelumnya. Ayahnya juga pernah aktif lama di sepakbola.
***
Bergesernya berbagai nilai sekarang ini, organisasi sepakbola mengikuti kondisi permainannya itu sendiri. Sekarang ini sepakbola sudah menjadi sebuah industri, sehingga pengelolaan organisasinya pun mengikutinya, memiliki nilai-nilai profesionalitas yang tinggi.
Namun, organisasi sepakbola bukanlah perusahaan murni. Ia masih memiliki nilai-nilai pengabdian dengan latar belakang orang yang ada di dalamnya datang dari rasa cinta pada sepakbola. Ini berlaku secara universal, di mana pun ia berada.
Sehingga walau Blatter maupun Velappan menjadi orang gajian, bukan berarti pengorbanannya selalu didasari oleh uang. Pekerjaan utamanya untuk kepentingan sepakbola.
PSSI sebenarnya lebih mudah dalam kontrol kerja, karena dalam urusan klub dibantu oleh Badan Liga Indonesia (BLI). Sayangnya, tokoh-tokoh yang muncul di BLI pun tidak lebih baik dibanding yang ada di PSSI. Begitu juga kehadiran kembali sang ketua BLI, Nirwan Bakrie, masih buruk seperti masa keaktifannya beberapa tahun lalu.
Padahal Nirwan yang kaya raya tidak seperti Omar Bakrie yang masih menuntut gaji untuk menyambung hidupnya. Ia mesti bisa lebih konsentrasi di dalam organisasi, termasuk memilih pembantunya yang dijadikan penghubung sepakbola Indonesia dengan AFC.
Email: lili@bolanews.com atau ramtodi@yahoo.com
Lilianto Apriadi
0 comments:
Post a Comment