Lilianto Apriadi
WORLD CUP NEVER DIE
Rabu, 5 Juli 2006 pukul 13:54:58 WIB
Juara bertahan dan tuan rumah akhirnya gugur. Bagi pecinta Brasil dan Jerman, rasanya Piala Dunia sudah berakhir. Namun, sesungguhnya World Cup Never Die, apapun yang terjadi.
Kenapa harus sudah berakhir? Kenapa harus mati? Tengok saja Italia. Bermain energik dan taktis mampu membungkam tuan rumah Jerman di hadapan ratusan ribu pendukungnya di Dortmund, Rabu (5/7) dinihari. Luar biasa Il Azzurri ini. Di kompetisi lokal para pemainnya sedang gundah karena terancam terdegradasi karena dugaan pengaturan skor, tapi di Germany 2006 bermain kesetanan.
Misteri jarak 12 tahun, yaitu tahun 1970, 1982, 1994, dan 2006 terjawab. Di Piala-Piala Dunia itu Italia menembus final. Hanya satu, yaitu pada Piala Dunia 1982, mereka menjadi juara.
Apakah ulangan 1982 juga akan terwujud? Detik-detik menuju sana sedang berlangsung. Pada Piala Dunia 1982 itu seluruh semifinalis adalah negara Eropa, yaitu Jerman, Polandia, Belgia, dan Italia. Pada Piala Dunia sekarang juga begitu, empat semifinalis seluruhnya berasal dari Eropa.
Pada Piala Dunia 1982 yang berlangsung di Spanyol, Italia datang tidak diunggulkan. Yang diunggulkan ketika itu justru Brasil yang datang dengan pemain-pemain terbaik, seperti Socrates, Rivelino, Falcao dan banyak lagi. Kini juga begitu. Tim Samba digadang-gadang, namun terpental. Justru Italia kini secara tak terduga muncul di final.
Tak diduga, lihat saja perjalanannya. Di babak penyisihan langkah Fabio Cannavaro dkk. tak cemerlang. Mereka nyaris kalah dari Amerika Serikat sebelum akhirnya bermain imbang 1-1. Mereka menang atas Ghana dan Ceska.
Di babak 16 Besar, giliran Australia yang hampir memupuskan harapan tim Pizza itu. Hanya bermain 10 orang dan terus ditekan, Australia justru kecurian gol penalti saat injury time.
Namun, lepas dari keberuntungan itu, di babak perempatfinal mereka menyuguhkan permainan meningkat dengan menumbangkan Ukraina 3-0. Lalu, di semifinal Italia membuat Jerman tak bisa melampiaskan dendam kekalahan terakhir 1-4 dalam pertandingan persahabatan.
Kemenangan-kemenangan itu kemudian membuat banyak orang ingin mengetahui apa yang terjadi di baliknya. Bahkan skandal suap yang kemudian sempat membuat seorang pemain Seri A, Gianluca Pessotto, melakukan bunuh diri, dianggap sebagai modal menyatukan semangat para pemain.
Perlu diingat pula, ketika Italia juara ketiga kalinya pada Piala Dunia 1982, strikernya yang kemudian menjadi pahlawan kemenangan, Paolo Rossi, juga baru lepas dari skorsing kasus suap.
Seperti juga di tahun 1982, pada Piala Dunia kali ini Italia juga kesetanan di negeri orang. Para pemainnya yang mayoritas dihuni oleh pemain-pemain berusia emas, mempertontokan paduan energik dan taktik yang indah. Lihat saja gol yang dibuat oleh Fabio Grosso. Gol itu tercipta berkat kejelian dan keterampilan tinggi dari Grosso.begitu pula dengan gol kedua. Alessandro Del Piero membuktikan kelas bahwa ia memang seniman bola. Pujian juga patut dilayangkan kepada Alberto Gilardino, yang menarik tiga pemain Jerman sebelum melepas umpan kepada Del Piero yang berdiri bebas.
Dua gol yang dibuat sama sekali bukan karena kelemahan kiper Jerman, Jens Lehmann. Tapi, memang karena kepiawaian Grosso dan Del Piero.
***
Italia memang sedang menuju masa 1982, namun bukan berarti impian itu sudah terwujud. Calon lawan mereka antara Portugal dan Prancis bukan lawan mudah. Torehan sejarah juga ingin mereka ukir.
Portugal jika saja lolos ke final adalah rekor. Selama ini prestasi mereka baru pada semifinal. Selain sekarang pada Piala Dunia 1966, Eusebio dkk. juga pernah membawa Portugal ke semifinal.
Rekor lain dibuat oleh pelatihnya, Luis Felipe Scolari. Pelatih jangkung ini berarti membawa negara berbeda ke final secara berurutan. Bahkan pada Piala Dunia 2002, dia membawa negerinya, Brasil menjadi juara.
Bagaimana dengan Prancis? Juga punya rekor tersendiri. Hanya selisih satu penyelenggaraan, mereka mampu hadir kembali di ajang terhormat. Padahal kalau dilihat dari hasil Piala Dunia 2002, mereka kandas di babak penyisihan. Ironisnya, mereka tak pernah menang.
Di Jerman, Prancis menunjukkan bahwa mereka belum “mati”. Zinedine Zidane masih punya kelas yang mengagumkan. Bahkan ia yang semula berniat mundur usai pesta ini diminta oleh banyak tokoh agar mengurungkan niatnya.
Zidane telah memberikan pelajaran berharga kepada lawan-lawannya, termasuk para pemain Brasil yang disebut-sebut memiliki keterampilan paling hebat di dunia. Zidane menaklukkan Kaka, Ronaldinho, Cafu, dan rekannya sendiri di Real Madrid, Ronaldo.
***
Pada final nanti, siapa pun lawan Italia, bakal menyuguhkan duel sengit. Misteri final pun bakal mewarnai pertarungan itu. Apakah lewat adu tendangan penalti, seperti yang terjadi Piala Dunia 1994? Atau mulus-mulus saja dalam waktu 2 X 45 menit, seperti dua Piala Dunia terakhir?
Pujian untuk tuan rumah Jerman. Begitu kalah yang menyakitkan –karena gol terjadi menjelang dua menit pertandingan berakhir—mereka hanya terpaku sebentar. Setelah itu, dimotori oleh pelatih Juergen Klinsmann, suasana menjadi penuh kebanggaan. Para penonton termasuk Kanselir Jerman di dalamnya, memberikan aplus kepada para pemain.
Nasib Jerman seperti Italia 1990. Sebagai tuan rumah, Italia kalah di babak semifinal dari Argentina. Tapi pemainnya, Salvatore Schillaci terpilih sebagai pemain terbaik. Inikah hadiah hiburan kedua bagi Jerman setelah srikernya Miroslav Klose akan merebut Golden Shoe sebagai pencetak gol terbanyak? Siapa kira-kira pemain Jerman yang akan meraih Golden Ball meneruskan Oliver Kahn yang meraihnya di Piala Dunia 2002? Apakah dia Michael Ballack?
Perjalanan Piala Dunia masih belum berakhir. Drama-drama di akhir kejuaraan sering menghadirkan adegan mengejutkan. Partai final tetap klimaks, sekalipun tidak menampilkan tuan rumah dan juara bertahan.
Email: lili@bolanews.com atau ramtodi@yahoo.com
Lilianto Apriadi
0 comments:
Post a Comment